Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sistem Presidensil Di Indonesia Tidak Kompatibel Dengan Sistem Multipartai

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Senin, 08 Maret 2021, 18:58 WIB
Sistem Presidensil Di Indonesia Tidak Kompatibel Dengan Sistem Multipartai
Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati/Repro
rmol news logo Sistem presidensil di Indonesia dianggap tidak kompatibel dengan dengan sistem multipartai yang dianut saat ini.

Hal ini ditegaskan Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang bekerja sama dengan STIH Jentera, Perludem, Constitutional and Administrative Law Society (CALS), dan Pusako Universitas Andalas pada Minggu (7/3).

Dalam presentasinya yang dikaitkan dengan soal sistem Pemilu, Khirunnusa mengatakan, kondisi kepartaian di parlemen dan pemerintahan sangat dipengaruhi oleh koalisi partai. Harus dilihat bagaimana proses terjadinya koalisi, apakah terjadi koalisi ideologis atau koalisi kepentingan.

"Karena ternyata koalisi hanya untuk bisa bertahan di pemerintahan. Lalu sejauh mana fungsi check and balances telah dilaksanakan. Terdapat tantangan yang cukup berat bagi demokratisasi di Indonesia jika ditinjau dari sisi kondisi kepartaian, kondisi regulasi Undang-undang Partai Politik, Undang-undang Pemilu, dan Undang-undang Pilkada," papar Khoirunnisa.

"Belum lagi kondisi internal partai di daerah yang kerap harus bergabung dengan kekuasaan karena ketiadaan sumber daya dalam proses kandidasi para calon kepala daerah," sambungnya.

Dalam catatan Perludem, Pilkada 2020 menjadi Pilkada dengan angka calon tunggal paling banyak. Pada 2015 ada 3 daerah dengan calon tunggal, 2017 ada 9 daerah, 2018 ada 16 daerah, dan 2020 ada 25 daerah dengan calon tunggal.

Jika dibandingkan Pilkada 2015 dengan 2020 terdapat kenaikan calon tunggal di daerah sampai 8 kali lipat. Ini semua memperlihatkan kecenderungan menguatnya kuasa oligarki dalam kontestasi pemilu.

Oleh karena itu, Khoirunnisa mengingatkan adanya sejumlah tantangan dalam penyelenggaraan Pemilu.

Pertama dianggap prosedural. Kedua, tidak memberikan insentif terbentuknya koalisi yang berbasiskan programatik. Dan ketiga, peran partisipasi masyarakat hanya dilihat saat hari H datang ke TPS, pemilu tidak menjadi media reward and punishment bagi peserta pemilu. Minim partisipasi pasca-pemilu.

Menutup presentasinya, Khoirunnisa memaparkan rekomendasi untuk reformasi partai politik dan elektoral.

Pertama, perlunya mendorong demokratisasi di internal partai politik. Kedua, memperkuat transparansi keuangan partai politik.

Ketiga, bersama melanjutkan reformasi sistem pemilu. Keempat, mendorong jaminan independensi penyelenggara pemilu. Dan kelima, aktif memperkuat konsolidasi masyarakat sipil. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA