Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pembelahan Hingga Langgengnya Oligarki Tampak Nyata Usai RUU Pemilu Ditendang Dari Prolegnas

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/diki-trianto-1'>DIKI TRIANTO</a>
LAPORAN: DIKI TRIANTO
  • Rabu, 10 Maret 2021, 02:59 WIB
Pembelahan Hingga Langgengnya Oligarki Tampak Nyata Usai RUU Pemilu Ditendang Dari Prolegnas
Anggota Baleg DPR RI Fraksi PKS, Bukhori Yusuf/Net
rmol news logo Keputusan mencabut Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 memantik protes dari Fraksi PKS DPR RI.

Ada beberapa catatan kritis Fraksi PKS terkait keputusan pemerintah dan mayoritas fraksi di DPR mengeluarkan RUU tersebut dari Prolegnas Prioritas 2021. Pertama, kondisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan yang diametral berpotensi melemahkan kesatuan NKRI dan kerukunan masyarakat.

“Sistem Presidential Threshold (PT) dengan ambang batas tinggi terbukti tidak sesuai dengan original intent atau maksud asli dari UUD 1945. Sebab, sistem ini menghalangi kesempatan memilih kader terbaik bangsa karena pada akhirnya kontestasi terbatas pada 2 paslon semata,” kata anggota Baleg DPR RI Fraksi PKS, Bukhori Yusuf dalam keterangan tertulisnya, Selasa (9/3).

Konsekuensinya, sambungnya, pembelahan sosial rentan terjadi. Bahkan, nuansa ketegangan itu masih bisa kita rasakan sampai sekarang sebagai ekses dari Pemilu 2019 silam.

Ia menjelaskan, penurunan PT melalui revisi UU Pemilu justru akan membuka ruang lebih luas untuk lahirkan banyak pemimpin segar. Hal ini senada dengan kehendak masyarakat yang menginginkan pemimpin berkualitas dan demokratis.

“Kita memiliki banyak tokoh negarawan yang layak menjadi pemimpin di tingkat nasional. Mulai dari ulama, cendekiawan, hingga kepala daerah. Sebab itu kami ingin mendorong demokratisasi yang lebih substantif dalam proses pemilihan presiden untuk memutus rantai oligarki. Salah satunya, melalui ikhtiar revisi ini,” tegasnya.

Ketua DPP PKS ini juga mencemaskan penerapan UU Pemilu eksisting akan memunculkan banyak kursi kosong di level kepemimpinan daerah ketika pilkada digelar serentak pada 2024.

“Masa kepemimpinan para kepala daerah eksisting selesai pada rentang 2022-2023. Artinya, akan ada krisis legitimasi selama kurun 1 sampai 2 tahun karena yang memimpin adalah Pelaksana Tugas (Plt) kepala daerah,” tutupnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA