Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bersikukuh Pilkada Digelar 2022-2023, PKS Pakai Argumen Tito Saat Penyelenggaraan Pilkada Di Masa Pandemi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Sabtu, 13 Maret 2021, 12:24 WIB
Bersikukuh Pilkada Digelar 2022-2023, PKS Pakai Argumen Tito Saat Penyelenggaraan Pilkada Di Masa Pandemi
Ketua Departemen Poitik DPP PKS, Nabil Ahmad Fauzi dalam diskusi virtual Polemik Trijaya FM, Sabtu (13/3)/Repro
rmol news logo Ditariknya revisi UU 7/2017 tentang Pemilu dari Prolegnas tidak mengubah sikap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk mendorong agar pelaksanaan Pilkada Serentak tetap di tahun 2022-2023.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Ketua Departemen Poitik DPP PKS, Nabil Ahmad Fauzi menyatakan, pihaknya memiliki argumentasi yang sama dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), M Tito Karnavian, agar jadwal Pilkada Serentak 2020 di masa pandemi Covid-19 bisa tetap berjalan.

"Kita menggunakan argumennya Pak Mendagri Tito, kenapa Pilkada 2020 tetap dijalankan? (Karena) kita perlu APBN/APBD itu untuk menggerakan ekonomi daerah," ujar Nabil dalam dalam diskusi virtual Polemik Trijaya FM, Sabtu (13/3).

Karena itu, Nabil melihat potensi perekonomian Indonesia bisa berangsur baik jika Pilkada digelar sesuai dengan periodisasi pergantian kepala daerah di masing-masing daerah.

"Bahwa Pilkada 2022 dan 2023 kalau kita pisahkan dengan pemilu serentak 2024 itu penting. Karena kita perlu dua tahun ke depan untuk membangkitkan ekonomi," ucapnya.

Lebih dari itu, Nabil juga menilai pernyataan Mendagri Tito yang mengatakan penyelenggaraan Pilkada 2020 berfek positif pada perekonomian sudah tepat.  Karena menurutnya, ada instrumen belanja yang berjalan disitu, sehingga ekonomi masyarakat bisa bergerak.

"Instrumen perekonomian itu kan salah satunya juga dari belanja pmerintah. Kenapa argumen itu tidak digunakan dalam pembahasan ini, revisi UU Pemilu ini," katanya.

Bahkan dalam hal ini, Nabil sudah mengkalkulasi besaran anggaran yang bisa digelontorkan pemerintah dari setiap penyelenggaraan pemilihan, baik pemilu nasional maupun pilkada.

"Kita bisa bayangkan kalau di Pemilu 2024 itu ada keperluan kita itu katakanlah (melihat pengalaman) 2019 itu Rp 25 triliun, sedangkan di Pilkada 2020 itu sekitar Rp 20 triliun," bebernya.

"Nah, kenapa logika itu tidak kita pakai. Kita perlu di 2022 dan 2023 untuk menghantarkan kita pada performa ekonomi," demikian Nabil Ahmad Fauzi. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA