Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Gubernur Lemhannas: Cara Sumut Menekan Konflik Patut Jadi Contoh

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/diki-trianto-1'>DIKI TRIANTO</a>
LAPORAN: DIKI TRIANTO
  • Rabu, 17 Maret 2021, 21:38 WIB
Gubernur Lemhannas: Cara Sumut Menekan Konflik Patut Jadi Contoh
Gubernur Sumut Letjen TNI (Purn) Edy Rahmayadi dan Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo/RMOLSumut
rmol news logo Dua Gubernur menghadiri diskusi kelompok terarah membahas Pengaruh Politik Identitas Terhadap Demokrasi di Indonesia, yang digelar oleh Tim Pengkajian Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI di Hotel Radisson Medan, Jalan H Adam Malik Medan, Rabu (17/3).

Keduanya yakni Gubernur Lemhannas RI, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo dan Gubernur Sumut, Letjen TNI (Purn) Edy Rahmayadi.

Gubernur Lemhannas, Agus Widjojo menyebutkan, kehadiran lembaga ini di Sumut dalam konteks kajian jangka panjang tentang politik identitas dan dampaknya terhadap demokrasi. Medan dipilih bersama dengan beberapa daerah lainnya, karena ada beberapa karakteristik yang bisa membedakannya dengan daerah lain dan itu direspons cukup positif.

“Reputasi Sumut yang bisa menekan konflik ini pada tingkat maksimal, artinya apa pun pilihan rakyat, tidak menimbulkan korban. Ini mungkin yang perlu dijadikan sumbangan positif dan perlu dijaga, dipelihara, dan ditingkatkan untuk dijadikan sebagai model (contoh) bagi daerah lain di Indonesia," ujar Agus dikutip Kantor Berita RMOLSumut.

Dalam kesempatan tersebut, pihaknya meminta masukan para pakar yang memahami kondisi sosial politik di Sumut. Agar politik identitas tidak menjurus kepada penekanan perbedaan, tetapi lebih kepada upaya mencari persamaan dari perbedaan tersebut.

“Di sini dikaitkan dengan demokrasi. Yakni praktik-praktik identitas sebagai sumber daya dan sarana politik dalam rangka mempengaruhi kebijakan dan kompetisi merebut kekuasaan dengan cara konstitusional dalam bentuk pemilu,” jelasnya.

Bahwa identitas dimaksud dalam kajian politik ini, lanjut Agus, adalah keniscayaan yang bisa mengarah kepada negatif atau positif. Untuk demokrasi, jika politik identitas kemudian membatasi kebebasan memilih, maka ada persoalan yang membuat terjadinya krisis (identitas). Muaranya adalah polarisasi di masyarakat.

“Bila dibiarkan dalam jangka panjang, ini akan membentuk sebuah karakteristik permanen kepada bangsa yang akan menghalangi pembangunan karakter kebangsaan kita. Sebab amanat pendiri bangsa, Negara ini dibentuk berdasarkan kesepakatan, bukan komposisi mayoritas-minoritas (identitas),” tambah Agus.

Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi pun mengakui, provinsi ini dihuni oleh beragam etnis, suku, dan agama. Karena itu, dapat dijadikan masukan dan cocok sebagai contoh bagi daerah lain di Indonesia.

Pengalaman daerah ini menghadapi berbagai pemilihan baik Pileg, Pilpres, Pilgub, hingga Pilkada, perlu diwaspadai di masa mendatang, agar politik identitas yang bisa menyebabkan polarisasi di masyarakat, mengarah kepada penajaman perbedaan yang mengkhawatirkan.

“Memang kita masih banyak pemilih yang rasional, tetapi kita tetap harus waspadai ke depan seperti apa. Jadi kondisi ini seperti itu (polarisasi) tidak bisa dibiarkan,” katanya.

Bagi Edy, sistem demokrasi yang berlaku di sebuah negara bergantung pada kebutuhan atau penyesuaian terhadap perkembangan sosial politik yang berjalan.

Beberapa bentuk di antaranya seperti demokrasi langsung, tidak langsung (representatif), parlementer, presidensial, otorier, partisipatif, demokrasi Islam, dan sosial. Berbeda negara, berbeda bentuk demokrasinya.

“Cocokkah kita dengan one man one vote? Kenapa tidak? Demokrasi kan ada bermacam-macam. Apakah demokrasi jelek? Tidak. Tergantung siapa yang melakukannya,” demikian Edy Rahmayadi. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA