Pasalnya, kenaikan utang tersebut akan terus meningkat seiring pertumbuhan dari sisi belanja pemerintah.
Ekonom muda dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan pemerintah perlu mewaspadai dampak dari utang tersebut karena berisiko terjadinya
capital reversal di surat utang pemerintah.
Fenomena ini, dipicu oleh kenaikan imbal hasil imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (US Treasury), sehingga lebih menarik bagi investor asing.
"Kalau spread atau selisih yield SBN dan Treasury makin menyempit bisa jadi pemerintah bakal sulit cari pembiayaan baru ke depannya," kata Bhima kepada
Kantor Berita Politik RMOL beberapa saat lalu di Jakarta, Rabu (24/3).
Sementara itu, kata Bhima, dampak utang yang diterbitkan di dalam negeri akan menimbulkan
crowding out effect yakni perebutan dana likuiditas di pasar antara perbankan atau perusahaan swasta misalnya dengan pemerintah.
"Efeknya nanti bank akan lebih banyak parkir di surat utang ketimbang menyalurkan pinjaman. Deposan juga akan keluarkan dana di perbankan untuk masuk beli SBN," jelasnya.
"Tentu ini situasi yang menghambat pemulihan ekonomi," imbuhnya menegaskan.
Bhima menambahkan, jika dikalkulasikan rata-rata utang pemerintah setiap bulannya terus bertambah sekitar Rp 273 triliun. Angka ini, kata dia, cukup beresiko bagi keberlangsungan negara di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini.
"Rp 273 triliun penambahan per bulan. Ini cukup berisiko," tandasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: