Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Polemik Pinjaman PT SMI, DPRD dan Gubernur Banten Dianggap Ingin Kelabui Rakyat

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Jumat, 02 April 2021, 15:17 WIB
Polemik Pinjaman PT SMI, DPRD dan Gubernur Banten Dianggap Ingin Kelabui Rakyat
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang, Lia Riesta Dewi/RMOLBanten
rmol news logo Polemik pinjaman dana Pemprov Banten sebagai upaya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ke PT Sarana Multi Infastruktur (SMI) senilai Rp 4,9 triliun masih terus bergulir tanpa akhir.

Pada pertengahan 2020 lalu, Pemprov Banten telah mengajukan pinjaman sebesar Rp 4,9 Triliun. Dengan rincian Rp 856,27 Miliar sudah masuk dalam APBD Perubahan 2020, sedangkan Rp 4,1 triliun masuk ke APBD 2021.

Namun, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 179 Tahun 2020 tentang Perubahan PMK Nomor 105 tahun 2020 tentang Pinjaman Pemerintah Daerah untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pinjaman daerah dikenakan suku bunga.

Inilah yang kemudian membuat Pemprov Banten urung melanjutkan peminjaman tahap dua, karena ada bunga yang harus ikut dibayarkan mereka.

Terkait itu, pengamat Hukum Tata Negara Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang, Lia Riesta Dewi mengatakan, Pemprov dan DPRD Banten terlalu ceroboh memaksakan pinjaman tahap dua Rp 4,1 triliun dengan berlandaskan pada perjanjian kerja sama (PKS) tahap awal dengan PT SMI. Padahal secara logika hukum, PKS hanya mengikat dalam satu kali kesepakatan selebihnya tidak berlaku.

"Apa yang disampaikan Pemprov itu enggak tepat, yang namanya sebuah kesepakatan itu hanya terjadi sesuai dengan apa yang disepakati pada saat itu. Jadi, tidak berlaku untuk suatu yang belum dikerjakan atau rencana yang akan datang," kata Lia saat dikonfirmasi, Jumat (2/4).

"Jadi, pinjaman Rp 4,9 triliun yang tahap pertama itu Rp 856,27 dia hanya mengikat pada saat perjanjian itu. Enggak bisa yang pinjaman selanjutnya Rp 4,1 triliun Pemprov berasumsi bakal sama PKS-Nya. Enggak bisa, secara hukum juga nggak bisa," tuturnya, dikutip Kantor Berita RMOLBanten.

Atas kondisi itu, Ketua Pusat Kajian Konstitusi Perundang-Undangan dan Pemerintahan Untirta ini melihat Pemprov Banten pura-pura tidak paham dengan aspek hukum dalam perjanjian pinjaman daerah.

Padahal bidang hukum di pemerintahan daerah cukup banyak. Jadi tidak mungkin kalau Pemprov Banten tidak mengerti atas perjanjian PKS hanya berlaku mengikat pada perjanjian pertama. Sehingga pinjaman tahap dua wajar jika dikenakan suku bunga.

"Kalau saya melihatnya Gubernur (Wahidin Halim) dan DPRD mencoba untuk mengelabui rakyat, bahwa sebetulnya mereka salah. Cuma mau bilang kita (Pemprov) salah kan malu," katanya.

"Apalagi gubernur. Gubernur kan terlalu gengsi. Dia enggak bisa disalahkan, dikritik saja enggak bisa. Nah kan repot kita punya gubernur yang baperan, padahal kan seharusnya seorang gubernur dia harus siap dikritik warganya," sambungnya.

Untuk itu, Lia mendorong Gubernur Banten untuk bersikap terbuka, transparan kepada rakyat mengakui kesalahan atas kekeliruan pinjaman ke PT SMI sehingga menimbulkan beban bunga yang fantastis.

Yang jelas, tegas Lia, jika Gubernur mengakui kesalahan dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah di hadapan rakyat, tidak mungkin juga menjatuhkan wibawa seorang gubernur. Justru rakyat akan merasa simpatik dengan keterbukaan seorang pemimpinnya.

"Nah, dia (Gubernur Banten) lebih gentle kalau dia bilang iya kita salah, tapi kita akan memperbaiki kesalahan ini, gitu lho. Bukan tetap bertahan mendesain bahwa mereka benar, malah menambah polemik yang panjang dan dengan seenaknya dia bilang. Kalau ada bunganya, sudah kita batalin saja. Nggak seperti itu, ini kan memimpin pemerintahan daerah, bukan memimpin rumah tangga," tegas Lia.

Sebab itu, Ketua bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Untirta ini menekankan Gubernur dan DPRD Banten untuk duduk bersama serta segera melakukan tindakan apakah pinjaman Rp 4,1 Triliun ke PT SMI dilanjutkan atau justru dihentikan.

"Kalau sudah seperti ini solusinya adalah harus duduk bersama semuanya, antara DPRD dan Gubernur. Panggil tuh semua pakar hukum. Katanya pemprov banyak pakar-pakar hukum termasuk pakar ekonomi, duduk bareng coba dibahas secara benar, bukan cuma secara adminiatratif saja sudah bahas, tapi benar benar dibahas, dilihat. Mana yang lebih baik diteruskan atau tidak," demikian Lia Riesta Dewi. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA