Rencana ini menuai pro dan kontra. Pasalnya, saat ini perekonomian belum tumbuh maksimal akibat hantaman pandemi Covid-19.
Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah mengatakan, peraturan sebelumnya memiliki peluang menaikkan PPN dalam UU 42/2009 tentang PPN. Dalam beleid aturan tersebut, tarif PPN bisa diubah paling rendah 5persen dan paling tinggi 15 persen.
Namun, dia meminta agar pemerintah perlu mengevaluasi itu dan melihat pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartał II.
"Memang aturan yang lama dimungkinkan sampai 15 persen. Kita akan lihat kuartal II ini apakah kemudian target pertumbuhan 7 persen yang diinginkan pemerintah tercapai? Walaupun perkiraan kita 5,5 persen paling tinggi, artinya 5 persen sampai 5,5 persen," kata Said Abdullah usai Rapat Paripurna, di Gedung Nusantara II, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (Kamis, 20/5).
Menurutnya, jika setiap kuartal pada tahun ini mengalami peningkatan yang cukup baik, maka kenaikan PPN dimungkinkan untuk dilakukan.
"Kalau trennya bagus terus sampai di kuartał IV, rata-rata kita bisa sampai katakanlah 4 sampai 5, persen maka memasuki tahun 2022 layak memang pemerintah menaikkan PPN," imbuh Said Abdullah.
Politisi PDI Perjuangan itu menambahkan, PPN tidak bisa dipandang akan menyulitkan dan berdampak pada masyarakat kelas bawah. Tapi, lebih pada masyarakat kelas menengah. Alasannya, pemerintah kerap memberikan stimulus kepada rakyat kecil.
"Sesungguhnya yang teriakannya agak lebih kenceng (masyarakat kelas menengah), tapi dalam kerangka menggulirkan
demand yang lebih tinggi, mau tidak mau, dan menjaga fiskal kita, pemerintah menurut saya layaklah tahun 2022 menaikkan PPN," kata Said Abdullah.
Untuk menaikkan PPN ini, lanjut Said Abdullah, pemerintah perlu melakukan skema multitarif, bukan secara keseluruhan menaikkan PPN 15 persen.
"Pasti multitarif lah pendekatannya. Tidak bisa semua rata 15 persen," ucapnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: