Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ketimbang Ikuti Saran IMF, Indonesia Lebih Baik Cari Cara Mandiri Untuk Pulihkan Ekonomi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Selasa, 25 Mei 2021, 14:20 WIB
Ketimbang Ikuti Saran IMF, Indonesia Lebih Baik Cari Cara Mandiri Untuk Pulihkan Ekonomi
Direktur Eksekutif Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat/Net
rmol news logo Pemerintah perlu mempertimbangkan dengan cermat konsekuensi menaikkan pajak ketika ekonomi masih belum pulih setelah terimbas Pandemi.

Termasuk mengejar pajak dari individu superkaya yang dapat mengakibatkan hengkangnya rencana investasi mereka di dalam negeri.

“Suasana resesi ekonomi seperti saat ini, masyarakat jangan ditakuti oleh kenaikan pajak. Pemerintah sebaiknya fokus terlebih dahulu memberikan stimulus dan relaksasi pajak karena semua serba sulit. Jangan malah munculkan isu RUU KUP dan kenaikan pajak, berbahaya buat pertumbuhan ekonomi 2021 nanti,” Ujar ekonom Achmad Nur Hidayat, Selasa (25/5).

Pernyataan Achmad Nur Hidayat ini merespons rencana Pemerintah bersama DPR mengajukan RUU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) sebagai revisi kelima atas UU Pajak Nomor 36 Tahun 2008.

Dalam draf RUU KUP, Pemerintah berencana menaikan PPN menjadi 15% dan tarif WP individu dari 30% menjadi 35% untuk kelompok pendapatan di atas Rp 5 miliar atau setara 349 ribu dolar AS.

Hal tersebut merupakan tambahan dari 4 golongan pendapatan yang berlaku saat ini. Berdasarkan Pasal 17 Ayat 1 UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang KUP, terdapat empat lapisan atau golongan tarif PPh Orang Pribadi.

Golongan pertama yakni orang pribadi dengan pendapatan hingga Rp 50 juta dikenakan pajak 5%. Kedua, orang pribadi dengan pendapatan di atas Rp 50 juta hingga Rp 250 juta dikenakan pajak 15%. Ketiga, orang pribadi dengan pendapatan Rp 250 juta hingga Rp 500 juta dikenakan pajak 25%. Keempat, orang pribadi dengan pendapatan di atas Rp 500 juta dikenakan pajak 30%.

Dalam draf RUU KUP usulan Pemerintah, dimunculkan kelompok kelima yaitu orang pribadi dengan pendapatan di atas Rp 5 miliar dikenakan pajak 35%. Draf tersebut berencana mengubah golongan tarif Pajak Penghasilan orang pribadi untuk kelompok pendapatan tinggi. 

Direktur Eksekutif Narasi Institute ini mengingatkan, jangan sampai ada persepsi orang superkaya di Indonesia terus diburu pajak selangit. Persepsi tersebut menciptakan iklim investasi yang tidak kondusif nantinya.

"UU Cipta kerja yang ingin mengundang investasi bisa tidak ada manfaatnya, bila narasi pemerintah terus memburu pajak masyarakat kelas menengah dan kaya,” jelas ekonom yang karib disapa ANH.

Dituturkan ANH, Sri Mulyani mengaku tidak membidik orang yang memiliki pendapatan kecil dan sedang. Namun justru mereka yang berpendapatan tinggi yang terdampak dari kebijakan kenaikan 35 persen tarif.

Menurut data Forbes Indonesia, kelompok pendapatan tinggi di Indonesia di antaranya Budi Hartono (20,5 miliar dolar AS), Michael Hartono (19,7 miliar dolar AS), Prajogo Pangestu (6,5 miliar dolar AS), Chairul Tanjung (4,8 miliar dolar AS), Dato Sri Tahir (3 miliar dolar AS), Eddy Kusnadi Sariaatmadja (3 miliar dolar AS), Jerry Ng (2,5 miliar dolar AS), Theodore Permadi (1,7 miliar dolar AS), Mochtar Riady (1,7 miliar dolar AS), dan pendiri Alfamart Djoko Susanto (1,7 miliar dolar AS)

Mereka termasuk ultra high net worth individual (pendapatan di atas Rp 1 miliar) yang jumlahnya di Indonesia sekitar 1.200 orang. Daftar lain dari Forbes juga mengungkapkan bahwa ada 15 orang Indonesia masuk dalam 100 keluarga terkaya di dunia.

ANH menambahkan, ide memburu pajak dari individu superkaya datang dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) untuk membiayai penanganan pandemi Covid-19.

Hal tersebut sangat tepat diberlakukan di negara maju. Karena di negara maju instrumen pembiayaan melalui penerbitan SBN tidak efektif, imbas suku bunga yang rendah mendekati nol persen.

"Sementara di Indonesia, SBN kita masih sangat atraktif dengan Yield dapat mencapai 6 persen untuk tenor 10 tahun. Sehingga untuk membiayai penanganan pandemi Covid-19 melalui global bond RI masih dapat diandalkan," jelas ANH.

ANH pun menyarankan ekonomi jangan digaduhkan dan kelas menengah jangan ditakuti dengan pajak tinggi saat ekonomi belum pulih.

“Pembicaraan seputar reformasi pajak dan RUU KUP nanti saja setelah ekonomi Indonesia tumbuh positif. Risiko memburu pajak dari dalam negeri sangat berbahaya di waktu ekonomi belum pulih malah menyebabkan ekonomi nyungsep," papar ANH.

ANH juga menyarankan, pengambil kebijakan ekonomi harus memiliki kemandirian berpikir dan cermat dengan kondisi kontekstual ekonomi Indonesia di mana pertumbuhan masih negatif.

“Indonesia sebaiknya memiliki cara pemulihan ekonomi sendiri daripada mengikuti saran IMF dan OECD memburu pajak dari dalam negeri. Ingat ekonomi kita tumbuh masih negatif 0,74 persen yoy di kuartal 1 2021. Berbeda dengan AS dan China yang sudah tumbuh positif 6,4 persen dan 18,3 persen yoy di Q1-2021,” demikian Achmad Nur Hidayat. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA