Selamat Idul Fitri
Selamat Idul Fitri Mobile
Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Komnas HAM Hanya Boleh Keluarkan Rekomendasi, Bukan Beberkan Keterangan Rahasia Ke Publik

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Minggu, 20 Juni 2021, 13:51 WIB
Komnas HAM Hanya Boleh Keluarkan Rekomendasi, Bukan Beberkan Keterangan Rahasia Ke Publik
Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Jember, Adam Muhshi/Net
rmol news logo Sikap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dinilai bertolak belakang dengan aturan yang seharusnya mereka taati. Sebab, Komnas HAM telah membeberkan keterangan yang sifatnya tertutup dan rahasia kepada publik.

Begitu kata Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Jember, Adam Muhshi menanggapi adanya salah komisioner Komnas HAM yang membeberkan dan menyatakan adanya pertanyaan yang dianggap tidak bisa dijawab oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron.

Tidak hanya itu, Komnas HAM juga gamblang menyatakan adanya perbedaan keterangan antara KPK dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) soal tes wawasan kebangsaan (TWK).

"Tak seharusnya Komnas HAM membeberkan keterangan yang sifatnya tertutup dan rahasia ke publik. Jadi hal itu secara hukum tidak pantas dilakukan," ujar Adam kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (20/6).

Pengungkapan keterangan ke publik tersebut, secara nyata bertentangan dengan ketentuan Pasal 87 ayat (1) huruf c UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Juncto Pasal 17 ayat (1) huruf d Peraturan Komnas HAM 2/2019 tentang Tata Tertib Komnas HAM.

"Secara normatif, Komnas HAM berdasarkan hasil temuannya hanya berwenang mengeluarkan rekomendasi pada pihak yang berwenang. Di luar itu, problem yang muncul berkenaan dengan status 75 pegawai KPK itu kan sebenarnya ranah hukum administrasi," jelasnya.

Padahal, masih menurut Adam, pihak-pihak yang tidak setuju dan menganggap SK Ketua KPK memiliki cacat hukum, seharusnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

"Peluang untuk itu terbuka lebar, sebab meskipun SK Ketua KPK itu misalnya dikeluarkan sesuai prosedur dan kewenangannya tetapi masih memungkinkan untuk dipertanyakan dari aspek substansinya (cacat substansi)" terangnya.

Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga ini menilai, keabsahan sebuah keputusan diatur dalam Pasal 52 UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan harus memenuhi tiga syarat, yaitu wewenang, prosedur, dan substansi.

"Apabila tiga syarat tersebut tidak terpenuhi, maka akan mengakibatkan keputusan tersebut cacat hukum dan dapat dibatalkan," pungkas Adam. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA