Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kondisi Keuangan Indonesia Saat Ini Seperti Pepatah "Sudah Jatuh Tertimpa Tangga"

Bunga Utang Tinggi, Tapi Tidak Juga Nendang

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/raiza-andini-1'>RAIZA ANDINI</a>
LAPORAN: RAIZA ANDINI
  • Jumat, 25 Juni 2021, 11:34 WIB
Kondisi Keuangan Indonesia Saat Ini Seperti Pepatah "Sudah Jatuh Tertimpa Tangga"
Anggota Komisi XI DPR RI, Marwan Cik Asan/Net
rmol news logo Kalangan DPR menyayangkan kerja pemerintah yang belum optimal dalam memanfaatkan "kesaktian" Undang Undang (UU) 2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Angka defisit pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperbolehkan melebar lebih dari 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama tiga tahun. Tapi, konsumsi tidak tumbuh, Covid-19 semakin meluas, dan mesti membayar utang dengan bunga tinggi, lebih tinggi dari negara-negara di kawasan.

"Setelah dianggarkan begitu besar, contohnya program PEN, sehingga menyebabkan defisit 2020 sampai 6,09 persen, ternyata tidak nendang terhadap perekonomian Indonesia," kata Anggota Komisi XI DPR RI, Marwan Cik Asan kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (25/6).

"Perekonomian kita masih negatif, 2020 masih minus 2,7. Kemudian di kuarter I 2021 masih minus 0,7. Hanya 83,4 persen program PEN bisa berjalan, konsumsi tidak tumbuh. Covid-19 tetap merajalela. Kelonggarannya tidak dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah," sambung dia.

Selain itu, lanjut Marwan, utang-utang Indonesia ternyata diambil dengan biaya yang sangat mahal dibandingkan dengan negara lain.

"Imbal hasil tinggi. Contoh, untuk jangka utang 10 tahun 6,72 persen lebih tinggi dari Jepang (0.03 persen), China (2.99 persen), Thailand (1.29 persen), Malaysia (2.5 persen). Itu contoh bagi negara Asia dan Asia Tenggara," tegas dia.

Atas dasar tersebut, menurut Marwan, makanya Badan pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan catatan kepada pemerintah, bahwa strategi dalam surat berharga baik untuk domestik dilihat kurang efektif alias kemahalan.

"Kemudian ditambah lagi, setelah berutang pun jadinya SILPA, tidak dibelanjakan semua uang itu. Maka BPK juga menulis YPS 2019, bahwa penarikan utang baru jauh melebihi kebutuhan KAS jangka pendek dan defisit. Kebijakan tersebut akan berpotensi menggangu kesinambungan fiskal dengan sayap depan sebab kurang efektif dalam mengambil resiko minimal," katanya.

Politisi Partai Demokrat ini mengibaratkan, kondisi keuangan Indonesia saat ini seperti sebuah pepatah 'sudah jatuh tertimpa tangga'.

"Sudah kena covid, utang kena bunga tinggi, tidak juga nendang untuk pertumbuhan ekonomi, covid tidak terkendali, terakhir, uang yang sudah kita utang bunga tinggi ternyata malah jadi SILPA. Ini pelajaran mahal, cukuplah satu setengah tahun ini. satu setengah tahun ke depan (2021 hingga 2022) saat kita masih punya kartu sakti defisit boleh di atas 3 persen, mari kita perbaiki," ucap Marwan. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA