Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tata Kelola Keuangan Bendahara Negara Payah, Demokrat Tuntut Adanya Transparansi APBN

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/faisal-aristama-1'>FAISAL ARISTAMA</a>
LAPORAN: FAISAL ARISTAMA
  • Rabu, 30 Juni 2021, 14:38 WIB
Tata Kelola Keuangan Bendahara Negara Payah, Demokrat Tuntut Adanya Transparansi APBN
Anggota Komisi XI DPR RI fraksi Partai Demokrat, Marwan Cik Asan/Net
rmol news logo Tata kelola keuangan negara oleh Kementerian Keuangan kembali disorot Komisi XI DPR RI.

Anggota Komisi XI DPR RI fraksi Partai Demokrat, Marwan Cik Asan mengungkap sejumlah masalah dalam pengelolaan fiskal.

Ia menjabarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap realisasi Anggaran Pendaatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 lalu.

Legislator asal Lampung itu menyebutkan, BPK mendapatkan rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen. Sementara rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6- 6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-19 persen.

Selain itu, rasio utang terhadap penerimaan tercatat sebesar 369 persen atau melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen, dan melebihi rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.

Dari data tersebut, Marwan melihat kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang semakin menurun. Ia menduga ada ketidakselarasan antara utang dengan pemanfaatan utang. Dengan kata lain, terdapat pula indikasi penggunaan dana oleh pemerintah tidak efesien dan rencana pembiayaan lemah.

"Kita butuh perubahan yang drastis, misalnya dengan meningkatkan penerimaan. Mengurangi pengeluaran pemerintah dan defisit anggaran tidak akan menyelesaikan masalah ekonomi saat ini,’’ kata Marwan dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Rabu (30/6).

Lebih dari itu, Sekretaris Fraksi Partai Demokrat itu juga melihat postur APBN 2020 memberikan toleransi untuk melebarkan defisit APBN lebih dari tiga persen. Hal itu memberikan konsekuensi pada pembiayaan APBN meningkat melalui utang sebesar Rp 1.296,56 triliun atau meningkat 198 persen dari tahun 2019.  

"’Tapi pembiayaan tidak semua terserap dalam alokasi program, sehingga menyisakan SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan) yang sangat besar mencapai Rp 234,7 triliun. Realisasi ini, melonjak 400 persen dibandingkan realisasi SILPA pada 2019 yang sebesar Rp 46,40 triliun. Inilah yang saya sebut menunjukkan adanya ketidakselarasan antara utang dengan pemanfaatan utang,’’ papar Marwan.

Bagi Marwan, Perppu Nomor 1/2020 yang memberikan toleransi defisit melampaui tiga persen selama tiga tahun berturut-turut telah berdampak pada bertambahnya besaran belanja yang tidak terkendali. Program PEN yang harusnya lebih fokus pada penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi rakyat terdampak langsung, dalam praktiknya juga memberikan porsi besar kepada sektor yang tidak terdampak langsung.

"Contohnya, alokasi untuk BUMN yang mencapai 152 triliun rupiah. Harus diingat, apa sih tujuan pembiayaan utang? Bahwa setiap rupiah utang harus digunakan untuk kegiatan produktif dan dapat menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi. Apalagi bunganya tidak sedikit,’’ tuturnya.

Lebih lanjut, Marwan menyoroti defisit anggaran sampai 2022 melampaui tiga persen. Karena diperkirakan, akibat itu utang pemerintah tahun 2024 melampaui angka Rp 10.000 triliun. Kondisi ini tentu akan berdampak pada kemampuan pemerintah membayar pokok dan bunganya. Ruang fiskal pemerintah akan semakin terbatas, belanja pemerintah akan terkuras untuk membayar bunga utang.

Dalam Kementerian Keuangan, jumlah utang pemerintah sampai dengan akhir Mei 2021 telah mencapai Rp 6.418,15 triliun atau setara dengan 40,4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Meskipun masih dalam batas yang aman di bawah 60 persen, sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara, namun jika digabungkan dengan jumlah utang yang ditarik oleh BUMN maka rasio utang pemerintah telah melampaui batasan UU.

Sehingga, mau tidak mau APBN akan menjadi tumpuan pemerintah dalam penyelesaian utang BUMN, jika sewaktu-waktu terjadi gagal bayar. Menurut Marwan, Sudah saatnya pemerintah mempersiapkan mitigas risiko atas potensi gagal bayar utang BUMN.

Sebab ia kerap mendengar pernyataan bendahara negara, Menetri Keuangan Sri Mulyai Indrawati yang menyatakan APBN senantiasa dikelola secara hati-hati, kredibel, dan terukur dalam beberapa tahun terakhir.

"Tapi saya kira, itu bertolak belakang dengan fakta sebenarnya. Hasil pemeriksaan BPK terang benderang menunjukan bahwa beberapa indikator utang telah melampaui batas aman dan masuk dalam zona waspada," imbuh Marwan.

Karena itu, Marwan mendesak Pemerintah untuk terbuka dan objektif memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kondisi fiskal negara, karena jika tidak dalam kondisi sehat maka diperlukan langkah kewaspadaan.

"Menutupi risiko yang sedang terjadi adalah bom waktu bagi pengelolaan fiskal dan APBN," pungkasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA