Anggota Komisi XI DPR RI fraksi Partai Demokrat, Marwan Cik Asan mengungkap sejumlah masalah dalam pengelolaan fiskal.
Ia
menjabarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap
realisasi Anggaran Pendaatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 lalu.
Legislator
asal Lampung itu menyebutkan, BPK mendapatkan rasio debt service
terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF
sebesar 25-35 persen. Sementara rasio pembayaran bunga terhadap
penerimaan sebesar 19,06 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-
6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-19 persen.
Selain itu,
rasio utang terhadap penerimaan tercatat sebesar 369 persen atau
melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen, dan melebihi
rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.
Dari data tersebut, Marwan
melihat kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang
semakin menurun. Ia menduga ada ketidakselarasan antara utang dengan
pemanfaatan utang. Dengan kata lain, terdapat pula indikasi penggunaan
dana oleh pemerintah tidak efesien dan rencana pembiayaan lemah.
"Kita
butuh perubahan yang drastis, misalnya dengan meningkatkan penerimaan.
Mengurangi pengeluaran pemerintah dan defisit anggaran tidak akan
menyelesaikan masalah ekonomi saat ini,’’ kata Marwan dalam keterangan
tertulis kepada wartawan, Rabu (30/6).
Lebih dari itu,
Sekretaris Fraksi Partai Demokrat itu juga melihat postur APBN 2020
memberikan toleransi untuk melebarkan defisit APBN lebih dari tiga
persen. Hal itu memberikan konsekuensi pada pembiayaan APBN meningkat
melalui utang sebesar Rp 1.296,56 triliun atau meningkat 198 persen dari
tahun 2019.
"’Tapi pembiayaan tidak semua terserap dalam
alokasi program, sehingga menyisakan SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan
Anggaran Tahun Berkenaan) yang sangat besar mencapai Rp 234,7 triliun.
Realisasi ini, melonjak 400 persen dibandingkan realisasi SILPA pada
2019 yang sebesar Rp 46,40 triliun. Inilah yang saya sebut menunjukkan
adanya ketidakselarasan antara utang dengan pemanfaatan utang,’’ papar
Marwan.
Bagi Marwan, Perppu Nomor 1/2020 yang memberikan
toleransi defisit melampaui tiga persen selama tiga tahun berturut-turut
telah berdampak pada bertambahnya besaran belanja yang tidak
terkendali. Program PEN yang harusnya lebih fokus pada penanganan
pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi rakyat terdampak langsung, dalam
praktiknya juga memberikan porsi besar kepada sektor yang tidak
terdampak langsung.
"Contohnya, alokasi untuk BUMN yang mencapai
152 triliun rupiah. Harus diingat, apa sih tujuan pembiayaan utang?
Bahwa setiap rupiah utang harus digunakan untuk kegiatan produktif dan
dapat menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi. Apalagi bunganya tidak
sedikit,’’ tuturnya.
Lebih lanjut, Marwan menyoroti defisit
anggaran sampai 2022 melampaui tiga persen. Karena diperkirakan, akibat
itu utang pemerintah tahun 2024 melampaui angka Rp 10.000 triliun.
Kondisi ini tentu akan berdampak pada kemampuan pemerintah membayar
pokok dan bunganya. Ruang fiskal pemerintah akan semakin terbatas,
belanja pemerintah akan terkuras untuk membayar bunga utang.
Dalam
Kementerian Keuangan, jumlah utang pemerintah sampai dengan akhir Mei
2021 telah mencapai Rp 6.418,15 triliun atau setara dengan 40,4 persen
terhadap produk domestik bruto (PDB).
Meskipun masih dalam batas
yang aman di bawah 60 persen, sebagaimana diatur dalam UU Keuangan
Negara, namun jika digabungkan dengan jumlah utang yang ditarik oleh
BUMN maka rasio utang pemerintah telah melampaui batasan UU.
Sehingga,
mau tidak mau APBN akan menjadi tumpuan pemerintah dalam penyelesaian
utang BUMN, jika sewaktu-waktu terjadi gagal bayar. Menurut Marwan,
Sudah saatnya pemerintah mempersiapkan mitigas risiko atas potensi gagal
bayar utang BUMN.
Sebab ia kerap mendengar pernyataan bendahara
negara, Menetri Keuangan Sri Mulyai Indrawati yang menyatakan APBN
senantiasa dikelola secara hati-hati, kredibel, dan terukur dalam
beberapa tahun terakhir.
"Tapi saya kira, itu bertolak belakang
dengan fakta sebenarnya. Hasil pemeriksaan BPK terang benderang
menunjukan bahwa beberapa indikator utang telah melampaui batas aman dan
masuk dalam zona waspada," imbuh Marwan.
Karena itu, Marwan
mendesak Pemerintah untuk terbuka dan objektif memberikan informasi
kepada masyarakat mengenai kondisi fiskal negara, karena jika tidak
dalam kondisi sehat maka diperlukan langkah kewaspadaan.
"Menutupi risiko yang sedang terjadi adalah bom waktu bagi pengelolaan fiskal dan APBN," pungkasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: