Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Di Mata Ray Rangkuti, PDIP Lupa Kudatuli Bermakna Kebebasan Diperjuangkan dengan Darah dan Air Mata

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/faisal-aristama-1'>FAISAL ARISTAMA</a>
LAPORAN: FAISAL ARISTAMA
  • Kamis, 29 Juli 2021, 17:50 WIB
Di Mata Ray Rangkuti, PDIP Lupa Kudatuli Bermakna Kebebasan Diperjuangkan dengan Darah dan Air Mata
Ray Rangkuti saat mengisi diskusi daring Tanya Jawab Cak Ulung bertajuk "PDIP dan 25 Tahun Tragedi Kudatuli"/Repro
rmol news logo Peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 atau disebut Kudatuli pada waktu itu bukan hanya soal PDI Perjuangan sebagai partai politik yang diintervensi oleh kekuasaan.

Melainkan, sudah menjadi simbol perlawanan nasional terhadap upaya penguasa merampas hak kebebasan berpendapat, berserikat, dan berorganisasi.

Bagi Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti, kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul, berorganisasi diperjuangkan dengan darah dan air mata.

Menurutnya, upaya merebut kembali demokrasi itulah yang menjadi substansi dari peristiwa berdarah 25 tahun silam itu.

"Apa substansinya? Kebebasan berpendapat, kebebasan berorganisasi itu diperjuangkan dengan darah dan air mata, bahkan oleh PDI Perjuangan sekalipun," ujar Ray Rangkuti saat mengisi diskusi daring Tanya Jawab Cak Ulung bertajuk "PDIP dan 25 Tahun Tragedi Kudatuli" pada Kamis (29/7).  

Seharusnya, kata Ray Rangkuti, peristiwa Kudatuli dapat dijadikan bahan refleksi dan diambil hikmahnya oleh PDI Perjuangan yang kini menjadi partai penguasa.

"Saya mohon maaf mengatakan, bahwa PDI Perjuangan sendiri pun agak luput untuk mengambil hikmah besar dari peristiwa, 27 Juli 1996 itu sekarang ini," kata Ray Rangkuti.

Atas dasar itu, Ray Rangkuti menyatakan hingga kini pihaknya masih tidak bisa menerima jika ada upaya pembungkaman kebebasan berpendapat hingga pembubaran organisasi tanpa mekanisme peradilan.

"Itulah yang sampai sekarang saya pribadi tidak bisa menerima organisasi dalam bentuk apapun dibubarkan," tegasnya.

Aktivis 98' jebolan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menuturkan bahwa ia kala itu pernah mengalami represi rezim Orde Baru dengan politik labelisasi.

Tindakan represi yang dialami Ray Rangkuti karena memperjuangkan kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul, dan berorganisasi.

"Saya pernah mengalami itu. Ya organisasi saya dibubarkan, dikriminalisasi, dicap, entah saat itu kan dicapnya namanya komunis ateislah," tuturnya.

"Saya juga melihat peristiwa besar bagaimana organisasi yang legal didapatkan secara benar dirampas oleh kekuasaan dan mengalami peristiwa kemanusiaan yaitu peristiwa 27 Juli 1996," imbuh Peserta Mimbar Bebas di kantor PDI Perjuangan 25 tahun silam ini.

Sehingga, masih kata Ray Rangkuti, semestinya pihak-pihak yang turut andil dalam memperjuangkan kebebasan berpendapat pada era rezim otoriter Orde Baru ini berkomitmen untuk mempertahankan hal itu.  

Bentuk komitmen itu, kata Ray Rangkuti, saat PDI Perjuangan menjadi partai penguasa jangan sampai ada satupun organisasi yang dirampas haknya kecuali melalui proses peradilan.

"Ini yang mulai agak longgar yang terjadi di masyarakat kita. Bahkan dimaklumkan oleh PDI Perjuangan karena alasan-alasan yang dipakai oleh rezim dahulu untuk membubarkan organisasi-organisasi yang sama," katanya.

Ray bahkan mencontohkan kalau dulu pembubaran organisasi menggunakan label ateis dan komunisme, saat ini menggunakan label berdasar radikalisme dan terorisme.

"Situasi yang sama juga kita alami, atas nama radikalisme, NKRI, organisasi dibubarkan tanpa melalui proses peradilan," demikian Ray Rangkuti.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA