Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mengapa Unit Pembangkit Energi Terbarukan Milik PLN Dipreteli?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/salamuddin-daeng-5'>SALAMUDDIN DAENG</a>
OLEH: SALAMUDDIN DAENG
  • Kamis, 29 Juli 2021, 18:25 WIB
Mengapa Unit Pembangkit Energi Terbarukan Milik PLN Dipreteli?
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamudin Daeng/Net
ASET unit geotermal milik PLN akan disubholdingkan lalu diserahkan kepada Pertamina Geotermal energi (PGE). Sementara PGE sendiri telah disubholdingkan dipisah dari Induknya Pertamina.

Dengan demikian PGE dan unit pembangkit geotermal milik PLN selanjutnya akan di IPO (initial public offering). Artinya dijual melalui pasar modal, untuk dimiliki sebagian sahamnya oleh swasta.

Padahal unit pembangkit geotermal PLN amatlah penting dan strategis bagi PLN. Mengapa?

Alasan paling utama adalah adanya kebutuhan PLN dalam meningkatkan bauran energinya, dan memulihkan nama baik PLN di mata publik nasional dan internasional terkai isu lingkungan hidup.

PLN tentu tidak mau dianggap gagal dalam meningkatkan bauran energi. Berbagai upaya dilakukan melalui pembangunan Pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga matahari, pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSA) dan termasuk pembangkit listrik tenaga geotermal (PLTP).

Namun upaya ini akan sia-sia jika seluruh pembangkit energi terbaharukan ini malah dipreteli dan diserahkan kepada swasta melalui IPO.

Padahal serangan berbagai pihak kepada PLN makin bertubi-tubi. Serangan datang karena PLN dianggap berkontribusi besar pada pencemaran lingkungan.

Bahkan PLN dianggap tidak atau kurang mendukung komitmen presiden Jokowi terhadap perjanjian perubahan iklim COP 21 Paris.

Bahkan ada desakan terhadap PLN untuk menutup pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara PLN. Desakan itu datang dari organisasi lingkungan dan tekanan dari elite politik sendiri.

Bahkan pembangkit listrik utama sumber pemasukan bagi PLN yakni pembangkit PLTU 9-10 Suralaya di obok-obok oleh berbagai pihak. Alasannya, PLN memproduksi listrik dari batubara yang ditenggarai sebagai sumber pencemaran nomor satu saat ini.

Padahal sebagian besar listrik yang dibeli PLN dari swasta berbahan bakar batubara. PLN harus membeli karena aturan yang berlaku demikian.

PLN wajib membeli listrik yang dihasilkan swasta. Namun pembangkit batubara swasta tidak pernah diobok-obok apalagi oleh pemerintah.

Sementara pembangkit PLN terus dipreteli. Apakah karena sebagian besar pembangkit batubara di Indonesia dimiliki oleh bandar-bandar kelas kakap, oligarki papan atas di negeri ini?

Sekarang unit pembangkit terbaharukan yakni PLTG milik PLN dipreteli, akan diserahkan kepada pihak lain.

Maka hilanglah kesempatan PLN untuk meningkatkan kapasitas menyongsong agenda perubahan iklim.

Kondisi ini akan menyulitkan keuangan PLN dimasa depan. PLN akan semakin sulit mendapatkan sumber sumber pembiayaan yang murah yang kita tau akan ada dari isue perubahan iklan.

Jika PLN gagal dalam mencapai target penurunan emisi, maka sudah pasti akan disapu oleh kesempatan perubahan iklim COP 26 yang akan berlangsung tahun ini di Glasgow.

Padahal menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kesepakatan perubahan Ikim COP 26 akan jauh lebih mematikan perekonomian dibandingkan covid 19.

Sementara ujung tombak pemerintah untuk meraih target penurunan emisi adalah PLN. Semua orang tau era ke depan adalah era electricity, digitalisasi dan zero emisi. Last Oil.rmol news logo article

Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA