Salah satu penolakan itu disuarakan akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta, Ali Munhanif. Dia mempertanyakan tingkat urgensi amandemen UUD pada masa sulit dewasa ini.
"Tidak ada urgensinya melakukan amandemen UUD, apalagi hingga 5 tahun mendatang agenda kenegaraan kita ke depan akan fokus pada menggenjot pertumbuhan ekonomi dan memastikan politik yang kondusif dan stabil," ujar Ali Munahnif kepada wartawan, Kamis (19/8).
Ali Munhanif menegaskan, ekonomi Indonesia selama dua tahun terpukul hebat akibat pandemi. Sehingga, elit dan pimpinan politik sebaiknya memiliki prioritas kerja pada mengembalikan ekonomi tumbuh sehat kembali.
"Sebaiknya elit politik, termasuk pimpinan parpol, menjaga
sense kenegaraan yang tangguh, untuk tidak membuka wacana amandemen UUD," tegasnya.
Menurut Ali Munahnif, amandemen UUD 1945 akan memancing polemik hebat, dan bisa dimanfaatkan secara liar di luar wacana perubahan UUD yang terbatas.
Meskipun wacana amandemen terbatas yang digagas Bambang Soesatyo bisa diterima, tapi Ali Munahnif melihat momentum yang ada saat ini menjadi satu hal yang mesti dipertimbangkan seluruh stake holder terkait.
"Jadi bukan soal tabu atau tidak, bukan kitab suci atau tidak, tetapi pertimbangkan urgensinya," katanya.
Hingga kini, Ali Munahnif memandang Indonesia sebagai negara yang sudah berjalan di rel yang benar, khususnya soal pelaksanaan demokrasi dalam sistem presidensialisme.
"Kita perkuat itu saja," imbuhnya.
Jika pun amandemen ditujukan untuk menghadirkan Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN), Ali meminta hal itu dipastikan denan satu kajian utuh, agar menghindari proses politiknya dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan secara liar.
"Misalnya, amandemen hanya sebatas dihidupkan kembali PPHN atau GBHN. Tetapi begitu diuji secara publik, akan muncul pertanyaan siapa lembaga yang merumuskan PPHN? Berlaku berapa lama? Kepada siapa laporan PPHN harus disampaikan? Pertanyaan-pertanyaan ini yang harus dibuka," demikian Ali.
BERITA TERKAIT: