Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sudah Ada UU 5/2004, PPHN Tidak Perlu Masuk Konstitusi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/angga-ulung-tranggana-1'>ANGGA ULUNG TRANGGANA</a>
LAPORAN: ANGGA ULUNG TRANGGANA
  • Kamis, 19 Agustus 2021, 16:58 WIB
Sudah Ada UU 5/2004, PPHN Tidak Perlu Masuk Konstitusi
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti/Net
rmol news logo Gelombang kritik terkait wacana pentingnya amandemen terbatas UUD 1945 yang akan membahas Pokok Pokok Haluan  Negara terus mengalir deras.

Apa yang disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo pada Senin (16/8) itu dipandang tidak perlu masuk ke konstitusi.

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti  berpendapat, wacana memasukan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam kontitusi tidak memiliki urgensi sama sekali.

Argumentasi Bivitri, PPHN menjadi tidak penting dimasukkan ke dalam konstitusi karena Indonesia sudah memiliki UU 5 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Dalam UU tersebut, jelas Bivitri sudah mencakup aturan soal Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) , dan rencana Pembangunan Jangka Pendek (RPJP).

“Adanya RPJP, RPJM, dan RPJ Pendek yang bagus dari aspek perumusan maupun kontrol. Bahwa masih ada yang tidak selaras, kesalahan bukan pada dokumen, tetapi dalam pelaksanaannya,” ujar Bivitri, Kamis (19/8).

Bivitri juga menilai konsep PPHN yang sebelumnya dikenal dengan istilah GBHN, sudah usang atau ketinggalan zaman.

Dalam pandangan Bivitri, model RPJM jauh lebih relevan dalam menyikapi berbagai masalah saat ini. Dalam negara modern, penyelenggaraan negara sangat mendukung inovasi dan adaptif.

Atas dasar itu, RPJM kata Bivitri sudah tepat. Apalagi level acuan aturannya adalah UU.

"Sedangkan PPHN yang diinginkan MPR kan levelnya "ketinggian," di atas UU, sehingga tidak fleksibel dan akan banyak implikasi negatif untuk kebijakan teknis, padahal namanya penyelenggaraan negara cukup teknis. Kalau mau yang tidak teknis, sudah ada juga, yaitu UUD 1945 sendiri dan Pancasila,” jelasnya.

Ia juga mengamati, jika PPBHN tidak kompatibel dengan sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebab, implikasi PPHN berpotensi membuat Presiden tidak bisa dijatuhkan seperti pada zaman Soekarno.

Ia menengarai wacana PPHN ini sangat kental lebih mengdepankan kemauan elite politik semata. Padahal, Kekuatan politiknya sudah dikembalaikan pad arakyat sejak amandemen yang dilakukan pada tahun 1999 hingga tahun 2002.

Bivitri memprediksi pembahasan PPHN dalam amandemen UUD 1945 membuka kemungkinan pembahasan yang melebar dan menjadi bola liar.

“Bila kita lihat Pasal 37, itu hanya berbicara kuorum. Tidak berbicara soal agenda. Jadi bisa saja ada agenda tambahan di tengah dan bisa disetujui sepanjang disetujui sesuai kuorum. Dan jangan lupa dalam politik tawar-menawar itu sering terjadi, sangat terbuka peluang, agar PPHN masuk, ada yang harus disetujui,” katanya.

Lebih lagi, Bivitri mengamati upaya DPD yang ingin menguatkan lembaganya.

“Jadi memang sekarang saja SUDAH menjadi bola liar. Apalagi nanti kalau sudah jadi agenda. Akan terlalu menyedot energi bangsa ini. Tidak layak dibahas sekarang,” pungkas Bivitri.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA