Begitu dikatakan Ketua Umum Gapenta Parasian Simanungkalit dalam webinar bertema "Menjaga Kemerdekaan Negara dan Agama; Menolak segala bentuk Radikalisme dan Terorismeâ€, Kamis (19/8).
"Radikalisme memang sejak dulu pada waktu Soekarno di Cikini, itu sudah ada terorisme mau menembak mati Presiden Soekarno," ujar Simanungkalit.
"Demikian juga peristiwa Maukar (Letnan Udara II Daniel Alexander Maukar) dengan membawa Mustangnya menembak di Istana Negara, (namun) Presiden Soekarno terhindar dari bahaya tembakan itu," imbuhnya.
Berkembangnya zaman, kata Simanungkalit, gerakan radikalisme mulai terjadi lintas negara. Tepatnya, ketika ada warga negara Indonesia yang berangkat ke Afghanistan dan bergabung dengan ISIS.
"Mengenai adanya WNI pergi ke Afghanistan, ke Turki untuk ikut ISIS, ini dibuatkan sedemikian rupa hanya beberapa orang saja yang salah langka yang tidak sesuai tujuan bangsa Indonesia," terangnya.
Hanya saja, lanjutnya, hanya sedikit saja orang Indonesia yang bergabung dengan gerakan radikalisme. Yakni, orang-orang yang tidak menerima fondasi kebangsaan Indonesia.
"Itu orang-orang yang tidak ingin mengikuti pendiri bangsa Indonesia, bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang tidak bisa diganggu gugat," pungkasnya.
Hadir pembicara lainnya diantaranya: CEO RMOL Network Teguh Santosa dan bekas anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ayik Heriansyah.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: