Akar masalah tersebut di antaranya etika lingkungan yang antroposentrik, peningkatan populasi penduduk, akumulasi kekayaan, kesenjangan dan kemiskinan, dan kegagalan kebijakan pembangunan (
policy failures).
Selain itu juga terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme, serta lemahnya penegakan hukum, kegagalan pasar (market failure) atau tidak adanya mekanisme pasar (
no market mechanism) pada beberapa SDA tertentu.
"Kalau ada krisis tata kelola, berarti ada krisis pengaturan. Pengaturan itu bukan satu aktor saja, namun bagaimana (agar) perkembangan pasar, negara, dan masyarakat bisa berkembang dengan baik. Artinya pengaturan antara pasar, negara, dan masyarakat," kata Prof Arif dlam webinar bertema 'Politik Pengelolaan SDA: Mencari Titik Temu Kepentingan Ekologi dan Politik', Rabu malam (18/8).
Untuk itu, solusi yang harus dilakukan adalah menyeimbangkan rasionalitas ekonomi dan rasionalitas ekologi.
"Penguatan rasionalitas ekonomi dan ekologi harus disejajarkan, antara lain melalui ekologi modern berbasis teknologi. Sebab kalau pendekatan ekonomi lebih dominan, maka terjadi kerusakan lingkungan. Kalau pendekatan ekologi lebih dominan, tidak ada pertumbuhan ekonomi," jelasnya.
Arif mencontohkan, pengembangan teknologi ramah lingkungan bisa dilakukan seperti dengan mengonversi limbah asap menjadi cairan pupuk dan lainnya.
"Jadi ekonomi tumbuh, tapi tidak merusak lingkungan. Teknologi ramah lingkungan sebagai solusi. Selain itu juga gerakan sosial, yang membangun
lifestyle ramah lingkungan,
car free day," paparnya.
Hadir dalam acara ini, Direktur Program AT Institute, Dr Agustian Prasetya; Direktur Eksekutif AT Institute, Dr. Puji Wahono; serta Kepala SKPB, Dr Alfan Alfian.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: