"Klaim pemerintah cenderung melihat persoalan secara parsial kemudian dibandingkan overclaim keberhasilan yang semu," kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira saat berbincang dengan
Kantor Berita Politik RMOL beberapa saat lalu, Kamis siang (2/9).
Dia mengurai bahwa Malaysia masih mengalami kontraksi karena mereka memberlakukan
lockdown ketat sejak 1 Juni 2021 lalu, sehingga prioritas adalah kesehatan dan keselamatan warganya.
Begitu juga Singapura yang merespons cepat varian delta Covid-19 dengan melakukan pembatasan ketat.
Sementara Indonesia justru terbilang telat dalam menetapkan PPKM Darurat tertanggal 3 Juli 2021 ketimbang Malaysia dan Singapura. Itupun, ketika lonjakan kasus Covid-19 sudah naik sejak minggu kedua Juni.
"Ada kesan pemerintah ingin menjaga pertumbuhan tinggi di kuartal ke-II 2021. Misalnya dengan pembukaan tempat wisata secara prematur, sehingga kesulitan lakukan tracing. Padahal negara lain sedang bersiap hadapi lonjakan kasus gelombang kedua dan ketiga," katanya.
Menurut Bhima, selain pemerintah lebih mementingkan ekonomi jangka pendek, kualitas pertumbuhan ekonomi di kuartal ke-II 2021 sebenarnya rendah. Hal itu setidaknya terlihat dari sektor pertanian yang menyerap 29,5 persen tenaga kerja hanya tumbuh 0,38 persen di periode tersebut.
Kemudian pertumbuhan sektor industri manufaktur juga lebih rendah dari pertumbuhan sektor jasa. Sementara yang naiknya tinggi adalah jasa transportasi, jasa terkait pariwisata, seperti perhotelan dan restoran.
"Itu pun temporer sifatnya," tegas Bhima.
Atas dasar itu, Bhima menyarankan sebaiknya pemerintah saat ini fokus saja soal serapan anggaran kesehatan dan meningkatkan belanja perlindungan sosial. Sebab, ketika PPKM diberlakukan itu sebetulnya tidak ada klaim lagi ekonomi bisa tumbuh 7 persen.
"Repot kalau hanya patokan di kuartal ke II tanpa persiapkan tantangan lebih berat yang datang dari
tapering off bank sentral AS, risiko
imported inflation (inflasi karena harga barang impor naik), dan pemulihan ekonomi yang uneven atau tidak merata di semua sektor," pungkasnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim ekonomi Indonesia sudah membaik (rebound) dibandingkan tahun lalu yang kontraksi parah. Dia membandingkan Malaysia hingga Singapura yang belum bernasib sama.
Ditambahkan Sri Mulyani, ekonomi kuartal II 2021 melesat 7,07 persen secara tahunan (year on year). Namun, tidak semua negara yang sempat terkontraksi ekonominya, mengalami perbaikan (rebound) seperti Indonesia.
"Apakah dengan adanya kontraksi ekonomi menjamin rebound? Ternyata tidak. Lihat Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. GDP (produk domestik bruto) mereka di kuartal II 2021 belum bisa melewati kondisi sebelum Covid-19," katanya dalam Pembukaan dan Seminar Nasional Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) 2021 secara daring, Selasa (31/8) lalu.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: