Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia's Democratic Policy, Satyo Purwanto mengatakan, amandemen ketiga UUD 1945 pada November 2001 lalu mengatur kewenangan MPR RI menjadi terbatas.
Kala itu, hanya mengubah dan menetapkan UUD 1945, melantik Presiden dan Wakil Presiden, dan memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya berdasarkan ketentuan dalam UUD 1945.
"Konsekuensi dari perubahan itu adalah MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara," ujar Satyo kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (7/9).
Sementara itu kata Satyo, kembali mengaktifkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang kini diubah namanya menjadi PPHN dianggap sama saja melawan arus sejarah reformasi.
Sebab, analisa Satyo, penghapusan GBHN dalam ketentuan UUD 1945 bukan tanpa alasan.
"Seperti tidak belajar dari sejarah dengan membangkitkan GBHN, justru sama saja memberi peluang pengulangan sejarah untuk memberikan kewenangan kepada MPR memecat Presiden dan bukan tidak mungkin bisa terjadi lagi seperti zaman Gusdur," jelas Satyo.
Apalagi kata Satyo, sangat berbahaya jika hanya sekadar mengamankan "hidden agenda" agar siapapun Presidennya harus melanjutkan agenda yang sudah ditetapkan dalam PPHN.
Yang menjadi sorotan Satyo adalah proyek pemindahan Ibukota Negara baru.
Padahal sambung Satyo, perencanaan pembangunan di Indonesia sudah ada berdasarkan UU 17/2007 tentang RPJPN yang saat ini adalah RPJPN 2005-2025.
Satyo berpendapat, jika para politisi di MPR bermaksud memperbaiki arah pembangunan nasional, sebenarnya tidak perlu menempuh jalur amandemen konstitusi dengan melahirkan kembali GBHN atau PPHN. Karena sudah ada RJPN.
"Yang jadi pertanyaan apakah rencana pembangunan Ibukota baru itu sudah masuk atau belum di dalam program jangka panjang nasional? Jangan-jangan itu cuma agenda 'titipan' di tengah jalan," jelas Satyo.
Padahal masih kata Satyo, melakukan amandemen UUD 1945 adalah kerjaan rumit yang memerlukan waktu panjang. Sehingga, akan menyita banyak waktu anggota MPR yang terdiri dari gabungan anggota DPR dan DPD.
"Padahal peran dan keberadaan DPR saat ini diperlukan untuk melaksanakan berbagai fungsinya yaitu legislasi, pengawasan, dan penganggaran disaat pemerintah menjalankan program menangani dan mengendalikan pandemi Covid-19 berikut segala dampaknya," pungkas Satyo.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: