Salah satu sebabnya, ada perbedaan sikap antara pemerintah yang ingin digelar 15 Mei dan KPU berserta pihak lainya pada 21 Februari 2024.
Ketua Network for Indonesia Democratic Society (Netfid) Dahlia Umar berpendapat, dalam konteks Pemilu serentak, usulan Komisi Pemilihan Umum (KPU) lebih tepat.
Argumentasi mantan Komisioner KPU DKI Jakarta ini, kalau digelar 15 Mei, dampaknya jeda antara Pemilu dan Pilkada bulan November di tahun yang sama sangat singkat.
Lebih lanjut, Dahlia menjelaskan, syarat pencalonan Pilkada sangat ditentukan oleh hasil Pemilu DPRD definitif.
"Hasil pemilu legislatif memakan waktu apabila ada sengketa hasil di MK Dan harus dipastikan selesai sebelum masa pencalonan Pilkada," demikian pendapat Dahlia Umar saat berbincang dengan
Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (6/10).
Analisa Dahlia, berdasarkan pengalaman penyelenggaran Pilkada, seluruh tahapan sampai hari pelaksanaan membutuhkan waktu 6 bulan. Apalagi, sengketa penyelesaian sengketa Pemilu biasanya butuh waktu 3 bulan.
"Sehingga perlu ada waktu jeda yang cukup untuk memastikan hasil Pemilu legislatif telah final ditetapkan sehingga pencalonan Pilkada dapat diusulkan oleh partai yang memperoleh kursi di DPRD pada pemilu 2024," tandas Dahlia.
Ia mengaku khawatir, jika pemerintah memaksakan Pemilu diadakan Mei 2024 maka implikasinya adalah terganggunya tahapan dan pelaksanaan Pemilu serentak.
"Bila waktu jeda tidak cukup dikhawatirkan mengganggu tahap pencalonan pada Pilkada," pungkas Dahlia.
BERITA TERKAIT: