Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Komnas Perlindungan Anak Desak BPOM Buat Labeling Kemasan Makanan dan Minuman Berbahan BPA Free

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Rabu, 06 Oktober 2021, 23:17 WIB
Komnas Perlindungan Anak Desak BPOM Buat Labeling Kemasan Makanan dan Minuman Berbahan BPA Free
Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait/Net
rmol news logo Massifnya penggunaan bahan kimia  Bisfenol A atau yang dikenal BPA dalam pembuatan plastik mendapat sorotan tajam dari Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Hal itu disampaikan Arist dalam diskusi bertajuk "Urgensi Label BPA Bagi Kesehatan" yang diselenggarakan secara daring melalui zoom conference, Selasa, (5/10).

"Komnas PA sangat konsern terhadap perlindungan anak-anak dari bahaya penggunaan  bahan kimia BPA bagi kesehatan anak-anak," ujar Arist dalam keterangan tertulisnya, Rabu malam (6/10).

Komnas PA, lanjut Arist, dalam beberapa bulan ini melakukan sosialisasi terhadap penggunaan BPA dalam produksi plastik. Hasilnya, ditemukan banyak masyarakat yang masih belum paham terkait dengan produk-produk plastik dan dampaknya bagi kesehatan.

Maka dari itu, dirinya meminta agar pemerintah selaku regulator segera membuat aturan yang tegas untuk pelabelan produk free BPA. Karena, pihaknya mempertanyakan produk plastik yang beredar di pasar menyertakan free BPA.

"Baik apakah dilakukan oleh pabrik atau sudah melalui uji klinis di Badan POM. Pemasangan label Free BPA harus dilakukan regulator," ucap Arist.

"Kami minta agar Badan POM dan Kementerian Kesehatan membuat aturan yang jelas, terkait informasi BPA ini dalam sebuah produk," tandasnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Koordinator Nol Sampah  Indonesia Wawan Some. Menurut dia, penggunaan bahan kima BPA bisa berdampak serius terhadap kesehatan.

Pasalnya ia berpendapat, dalam kondisi panas struktur kimia yang ada dalam plastik tersebut akan lepas dan bercampur dengan makanan atau minuman yang menjadi isi dari kemasan plastik.

"Dan jika di konsumsi sangat berbahaya," tutur Wawan.

Selain itu, Wawan juga menemukan bahan makanan yang berlemak juga semakin meningkatkan resiko terjadinya paparan BPA.

Ia pun ikut mengkritisi regulator yang dia anggap tidak jelas dalam mengatur jenis-jenis plastik yang digunakan oleh masyarakat. Misalnya terkait makna angka-angka yang ada di dalam produk plastik dalam bentuk botol yang sekali pakai.

"Ada berbagai macam jenis plastik dari mulai angka satu sampai tujuh. Angka satu misalnya seperi air kemasan, soft drink dan sebagainya, itu adalah produk sekali pakai," jelasnya.

Lebih lanjut, Wawan menyayangkan banyak masyarakat yang tidak paham mengenai bahayanya penggunaan plastik untuk kemasan makanan dan minuman, tapi malah cendrung tertarik karena mungkin bentuk botolnya bagus dan bisa dipakai lebih dari satu kali.

"Karena itu agar edukasi terkait bahan kimia berbahaya juga dibarengi dengan melakukan kontrol pada proses produksinya, sehingga bisa meminimalisir penggunaan bahan pastik berbahaya tersebut," tutupnya.

Arist Merdeka Sirait menambahkan, negara tidak boleh kalah dengan industri. Karena ancaman bahanya BPA bukan saja bagi anak-anak, namun juga bagi masa depan bangsa.  Di luar negeri BPA sudah dinyatakan sebagai bahan berbahaya yang dilarang penggunaanya.

Sebagai contoh, Arist menyebutkan penggunaan galon guna ulang yang meluas di tengah masyarakat. Harusnya pemerintah membuat label peringatan kepada konsumen, Karena galon isi ualng terbuat dari polikarbonat yangmengandung  BPA.

"Sementara banyak ibu-ibu membuat susu untuk anak-anak dari air yang dari galon isi ulang. Peringatan produk seperti halnya di produk rokok, di produk plastik juga harus ada seperti itu," tegas Arist.

"Hasil eksekusi kami terhadap berbagai penelitian di lapangan,  regulator diperlukan kehadirannya dalam mengontrol produk plastik berbahan kimia berbahaya," harapnya.

Berdasarkan studi yang dilakukan di beberapa negara menunjukkan bahwa paparan manusia terhadap BPA cukup luas. Data statistik Kanada yang dilakukan pada 2007-2009 ditemukan sekitar 91 persen orang berusia enam sampai 79 tahun dalam urinnya terdeteksi mengandung BPA.

Sedangkan di survei di Amerika Serikat pada 2003-2004 mendeteksi adanya BPA sebesar 93 persen dari 2.517 sampel urin orang Amerika yang berusia lebih dari 7 tahun. Populasi yang beresiko terhadap paparan BPA adalah bayi, karena tubuh mereka sedang berkembang dan sistem detoksifikasi di dalam hati juga belum sempurna.

Pada 2010 Kanada menjadi negara pertama di dunia yang menyatakan BPA sebagai zat toksik yang dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan dan lingkungan.

Uni Eropa telah menotifikasikan pelarangan penggunaan BPA dalam pembuatan botol susu bayi dari plastik mulai Maret 2011. Pada bulan Juni 2011, import dan penjualan botol bayi yang mengandung BPA juga akan dilarang. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA