Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kereta Cepat Sejatinya Subtitusi Pesawat, Proyek KCJB Tidak Visible

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/raiza-andini-1'>RAIZA ANDINI</a>
LAPORAN: RAIZA ANDINI
  • Jumat, 15 Oktober 2021, 23:57 WIB
Kereta Cepat Sejatinya Subtitusi Pesawat, Proyek KCJB Tidak Visible
Ilustrasi/Net
rmol news logo Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) telah salah langkah sejak awal. Karena ada pihak yang berani mengatakan tidak berdasarkan kajian ilmiah, lantaran ada rekayasa dalam proses pembangunannya.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Atas dasar itu, Ekonom Indef, Faisal Basri mengatakan, kunci dari sebuah proyek pembangunan harus didasarkan pendekatan scientific.

"Pendekatan scientific menunjukkan bahwa kereta cepat ini tidak visible, kita bukan antikereta cepat. Tidak visible karena apa? Karena umumnya kereta cepat itu adalah subsitusi dari pesawat. Jadi, kuncinya adalah jarak tempuh, dan itu tercapai, sekadar dari jarak tempuh Jakarta-Halim-Tegal Luar itu kira-kira 35 menit jadi inget yang harus kita hitung adalah jarak dari poin ke poin,” urai Faisal dalam acara diskusi virtual Indonesia Leaders Talk bertemakan "Plin Plan Janji Pemimpin" yang digagas PKS TV, Jumat (15/10).

Ia kemudian menjelaskan mulai dari karakteristik kereta cepat yang saat ini menggunakan generasi teknologi terbaru dengan kecepatan maksimum 350 km per jam, dengan rentang jarak antara Jakarta-Bandung 143,2km. Menurutnya, ini adalah proyek kereta cepat terpendek di dunia.

"Rata-rata dunia itu 500 km. Ada 5 stasiun pemberhentian. Kereta kalau kecepatan 350 (km per jam) kalau banyak berhenti dia itu harus memperlambat dulu mendekati stasiun dan untuk akselerasinya. Jadi, semakin banyak stasiun semakin lama,” katanya.

Jika melihat karakteristik kereta cepat dari segi kemanfaatannya, kata Faisal, persis seperti pesawat. Namun kereta cepat memiliki keunggulan lantaran lebih mudah diakses, cepat, dan terjangkau oleh masyarakat.

Akan tetapi, kereta cepat ini harusnya dibangun di pusat kota. Jika dibangun di dekat bandara kurang efisien.

Ketiga faktor tersebut, kata Faisal, membuat waktu tempuh dari titik awal ke tujuan akan lebih jauh. Karena, konsumen harus melalui Halim Perdanakusuma untuk dapat mengakses kereta cepat ke Bandung.

“Akhirnya ujung-ujungnya hampir sama dengan kereta Parahyangan tiga jam, bahkan bisa dua jam untuk ke mobil. Jadi, tidak ada super prioritas dari waktu tempuh,” imbuhnya.

Masalah tarifpun, pihaknya tidak terlalu masalah selama memenuhi kecepatan, dan kenyamanan yang setara dengan harga jual tiketnya. Tetapi, saat ini Bandung dianggapnya belum perlu kereta cepat, lantaran moda transportasi cukup banyak dan masyarakat mengaksesnya sangat mudah.

“Banyak pilihan moda transportasi Jakarta-Bandung, kereta Parahyangan tiga jam tapi di tengah kota, ada bus, ada pesawat, Bandara Husein dekat juga denga kota, travel pemberhentiannya sangat fleksibel, kendaraan pribadi lebih ekonomis jika dengan keluarga berlibur menikmati kuliner di Bandung,” katanya.

"Jadi, ujung-ujungnya nanti bisnis ini kan, perjalanan bisnis, dan perjalanan bisnis membuat tidak nyaman. Jadi siapa yang akan naik? Kalau ongkosnya dari waktu ke waktu naik lagi, 300 ribu, 350 ribu saya dengar, sekarang saya enggak tahu ya tapi kemungkinan 400 ribu. Jadi, agak repot,” tutupnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA