Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kebebasan Sipil hingga Kekerasan terhadap Perempuan Jadi Rapor Merah 2 Tahun Jokowi-Maruf

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Kamis, 21 Oktober 2021, 04:59 WIB
Kebebasan Sipil hingga Kekerasan terhadap Perempuan Jadi Rapor Merah 2 Tahun Jokowi-Maruf
Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati/Net
rmol news logo Dalam 2 tahun periode Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Maruf Amin, ada banyak hal yang menjadi sorotan publik. Mulai dari kasus pelanggaran HAM hingga kekerasan terhadap perempuan dan anak yang justru makin meningkat.

"Hal yang dinilai paling buruk selama tahun kedua kinerja Jokowi-Maruf adalah kebebasan sipil juga kasus pelanggaran HAM yang tidak pernah usai dan tuntas sehingga ini menjadi regresi demokrasi di Indonesia," ucap Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu malam (20/10).

Lanjut Neni, suara civil society pun seolah hanya diakomodir  tanpa ada tindakan lebih lanjut. Sebab, suara masyarakat ini nyatanya tidak didengar sama sekali.

Pemerintahan pun cenderung represif dan nyaris meniadakan partisipasi publik dalam mengawal berbagai kebijakan publik serta pengesahan beberapa RUU, kata Neni.

Tak hanya itu, selama 2 tahun pemerintahan Jokowi-Maruf, RUU yang dipandang krusial untuk segera disahkan malah keluar dari prolegnas. Tetapi, RUU yang tidak prioritas dengan segera disahkan.

Terlihat dari masyarakat yang memiliki kekritisan tinggi terlihat dengan sengaja dilakukan penyerangan digital melalui peretasan. UU ITE, tambah Neni, dijadikan sebagai alat kriminalisasi untuk pembungkaman. Ditambah lagi, upaya penguatan dan pemberantasan korupsi juga dinilai semakin melemah.

Kemudian, komunikasi publik yang dilakukan pemerintah pun dinilai semakin memburuk. Saluran informasi yang tidak satu arah menimbulkan banyak persepsi di masyarakat atas berbagai informasi yang diterima dan kurang adanya transparansi serta akuntabilitas pada rakyat.

"Komunikasi publik ini harus segera dibenahi, apalagi saat menghadapi krisis. Karena sifat informasi dalam krisis itu harus ekstrim dan tunggal. Bukannya malah semakin memperburuk situasi dan keadaan," papar Neni.

Terakhir, Neni menyoroti kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang semakin meningkat, apalagi di era pandemi. Tetapi sama sekali tidak ada kepekaan dari pemerintah untuk mengatasi masalag ini.

"Maju mundur RUU PKS, keluar masuk prolegnas, menunjukkan tidak ada upaya serius dalam menangani kasus kekerasan perempuan dan anak yang mengancam masa depan dan bisa jadi merusak bonus demografi," demikian Neni Nur Hayati. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA