“Terutama tentang peran kita sebagai hakim dan bagaimana dapat memenuhi hak aspirasional untuk hidup di lingkungan yang bebas dari pencemaran,†kata Ketua Mahkamah Agung, Syarifuddin dalam workshop tentang lingkungan hidup untuk para hakim Asia Tenggara dikutip dari Channel Youtube Mahkamah Agung, Kamis (4/11).
Saat ini, keberadaan kegiatan seperti workshop hakim se-ASEAN penting dalam rangka berbagi pengalaman terkait penanganan perkara lingkungan yang dijalankan oleh masing-masing negara.
“Terutama perkara di bidang kehutanan, kelautan, dan energi terbarukan. Hal ini merupakan tantangan bersama di tingkat global dan nasional,†urai Ketua Council of ASEAN Chief Justices (CACJ) ini.
Di sisi lain, Syarifuddin mengakui perkara ligitasi perubahan iklim di Indonesia merupakan perkara baru dan unik. Sebab, klaim perubahan iklim dikejar sebagai ganti rugi sekunder di bawah beberapa klaim gugatan primer lainnya, seperti pembalakan liar dan gugatan kebakaran hutan.
"Alih-alih mengajukan tuntutan atas kerusakan iklim, pemerintah yang menjadi penggugat dalam perkara-perkara tersebut, terutama dalam perkara pembalakan liar dan kebakaran hutan justru mengejar tuntutan biaya pengurangan emisi,†lanjutnya.
Pengadilan Indonesia, kata dia, telah membebaskan para penggugat dari tugas membuktikan hubungan kausal antara emisi gas rumah kaca oleh tergugat dan kerugian penggugat akibat perubahan iklim.
“Dengan demikian, putusan pengadilan Indonesia menunjukkan bahwa litigasi perubahan iklim berbasis gugatan memang dimungkinkan,†tutupnya.
Workshop hakim lingkungan hidup se-ASEAN digelar Mahkama Agung RI selama empat hari dari tanggal 1 sampai 4 November 2021. Workshop daring tersebut mengusung tema “Towards Climate Justice: Challenge, Strategy and Future Trend in Climate Change Adjudicationâ€.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: