Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Hasan Basri: Serikat Buruh Jangan Berpolitik Praktis

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Selasa, 23 November 2021, 05:18 WIB
Hasan Basri: Serikat Buruh Jangan Berpolitik Praktis
Anggota Komite III DPD RI, Hasan Basri/Ist
rmol news logo Inventarisasi materi pengawasan implementasi UU 21/2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja dilakukan Komite III DPD RI dalam kegiatan Kunjungan Kerja melalui Focus Group Discussion (FGD) di Bali, Senin (22/11).

Kunjungan Kerja tersebut dihadiri oleh Pimpinan dan Anggota Komite III DPD RI, Wakil Gubernur Provinsi Bali, Kepala Dinas Ketenagakerjaan Bali, Perwakilan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Perwakilan APINDO, Akademisi, serta sejumlah pihak terkait.

Acara ini digelar DPD RI lantaran menilai pemberlakuan UU Serikat Buruh/Pekerja masih mendapatkan banyak kekurangan, yang dibuktikan dengan adanya hasil RDPU antara Komite III DPD RI dengan LBH Jakarta dan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) pada Senin (8/11).

Mengemuka tiga isu menarik dalam pertemuan tersebut. Di mana yang pertama dinyatakan bahwa pengawasan oleh Kementerian dan Dinas Tenaga Kerja untuk perlindungan hak serikat bagi pekerja sangat lemah.

Kemudian kedua, tidak ada lanjutan dari hasil laporan tindak pidana perburuhan kepada kepolisian perihal perlindungan hak berserikat. Sedangkan yang ketiga, adanya pembatasan jumlah serikat buruh/pekerja dalam satu perusahaan untuk meminimalisasi konflik.

Menanggapi isu tersebut, Kepala Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Bali, Ida Bagus Ngurah Arda mengatakan, tahun 2021 Provinsi Bali memiliki jumlah perusahaan yang telah terdata sebanyak 10.945, 210 jumlah SP/SB dan jumlah pengangguran sebanyak 37.500 orang.

Melalui kesempatan tersebut, Ida melaporkan beberapa kendala atas pelaksanaan UU 21/2000. Salah satunya adalah lemahnya pembentukan SP/SB yang diakomodir dalam Pasal 28 di dalam UU Serikat Buruh/Pekerja ini.

"Dan banyaknya jumlah pelanggaran perburuhan yang belum terselesaikan," ujar Ida dalam keterangan tertulis DPD RI yang dikutip Selasa (23/11).

Dengan banyaknya laporan yang diterima Pemprov Bali, Ida meminta kepada Pemerintah melalui Komite III DPD RI untuk melakukan revisi terhadap UU 21/2000.

"Yakni, dengan mewajibkan perusahaan untuk membentuk serikat buruh. Tujuannya tak lain ialah untuk menjamin kesejahteraan buruh," tuturnya.

Dalam kesempatan yang sama, Senator asal Kalimantan Utara, Hasan Basri menanggapi pernyataan Ida tersebut. Dia meminta agar jika di dalam pembentukannya serikat buruh melalui revisi UU 21/2000, maka kepengurusan serikat buruh diimbau agar tidak menggunakan organisasi untuk kepentingan politik praktis.

Karena, Hasan Basri tak menutup kemungkinan adanya langkah dari oknum pengurus serikat buruh yang menjadikan organisasi buruh sebagai underbow partai politik tertentu. Padahal hal tersebut akan merugikan perjuangan buruh.

"Dalam rangka membangun sistem ketenagakerjaan nasional, pekerja harus dikembalikan kepada khittah-nya sebagai bagian dari pembangunan sosio ekonomi bangsa Indonesia. Jadi seluruh pekerja merupakan bentuk investasi sumber daya manusia nasional," kata Hasan Basri.

Anggota Komite III DPD RI ini merekomendasikan agar pengurus serikat buruh nantinya tidak menyeret lembaganya ke partai-partai politik.

"Kami tidak membatasi hak asasi politik kaum buruh. Yang kami tidak inginkan adalah institusi serikat buruh menjadi alat politik praktis," tegasnya.

Hasan Basri mengaku prihatin jika buruh nantinya menjadi anggota partai politik. Maka dari itu, ia memandang sebaiknya buruh dibebaskan dalam menentukan pilihan politiknya tanpa membawa organisasi serikat buruh.

Khusus yang terkait dengan banyaknya kasus tindak pidana perburuhan yang terjadi di Indonesia termasuk di Bali, Hasan Basri menyampaikan setidaknya terdapat 46 jenis tindak pidana perburuhan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

Dia menyayangkan dalam prakteknya jarang sekali mekanisme pidana dalam peraturan perundang-undangan digunakan oleh aparat penegak hukum untuk mengimplementasikan norma yang ada tersebut.

"Meski sudah ada norma aturannya, sayangnya hukum pidana perburuhan dalam praktiknya jarang sekali ditegakkan. Akibatnya, hukum ketenagakerjaan kerap dilanggar terus menerus oleh perusahaan, karena ketiadaan penegakan hukum yang tegas," ungkapnya.

Sebagai contoh, Hasan Basri menyebutkan pada tahun 2020 sampai saat ini setidaknya tercatat 21 ribu pelanggaran norma ketenagakerjaan yang belum terselesaikan.

"Ini menunjukkan banyaknya laporan dan pengaduan tindak pidana ketenagakerjaan yang diajukan oleh pekerja/buruh ke lembaga Kepolisian, namun tidak dapat ditindaklanjuti dengan berbagai alasan seperti ketidakmengertian aparat penegak hukum atas hukum pidana ketenagakerjaan, ketiadaan penyidik khusus, dan lain sebagainya," herannya.

Lebih lanjut Hasan Basri mengaku prihatin melihat buruh yang saat melakukan advokasi dan aksi massa untuk mendapatkan hak-haknya justru menerima dikriminalisasi.

Hal ini yang menurutnya membuat penegakan hukum justru bersifat parsial alias berat sebelah dan pandang bulu, tidak imparsial.

"Pada akhirnya, praktik penegakan hukum yang parsial ini adalah pelanggaran nyata terhadap cita-cita Pancasila dan UUD NRI 1945 yang hendak mewujudkan keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," tandasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA