Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

AS Gunakan Isu Laut China Selatan untuk Lawan Pengaruh China

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Jumat, 17 Desember 2021, 21:58 WIB
AS Gunakan Isu Laut China Selatan untuk Lawan Pengaruh China
Founder & Chairman Indonesia Center for Air Power Studies, Chappy Hakim/Net
rmol news logo Amerika Serikat (AS) menggunakan isu sengketa di Laut China Selatan, untuk melebarkan pengaruhnya di kawasan Indo-Pasifik. Hal itu, dilakukan AS untuk menandingi pengaruh China di kawasan tersebut yang semakin meluas.

Pola yang dilakukan AS adalah menyuarakan tentang adanya bahaya China di Laut China Selatan kepada negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam dan Filipina, yang memang memiliki pertikaian wilayah dengan China.

Hal itu dikatakan Founder & Chairman Indonesia Center for Air Power Studies, Chappy Hakim, dalam Webinar Moya Institute bertajuk "Perebutan Pengaruh di Kawasan Pasca Kapitulasi AS dari Afghanistan", Jumat (17/12).

"Pasca berakhirnya Perang Dingin 1991, ada pemotongan signifikan belanja pertahanan AS. Hal itu menyebabkan pangkalan militernya di Filipina 'closed down'. Kekuatan armada ketujuh di Pasifik juga berkurang," ungkap Chappy.

Di sisi lain, sambung Chappy, pertumbuhan ekonomi China dan India meningkat secara fantastis. Dan peningkatan pertumbuhan ekonomi itu diikuti pula oleh peningkatan anggaran pertahanan secara signifikan.

Itu semua menandakan bahwa pengaruh Amerika di Indo-Pasifik semakin berkurang. Maka, ketika muncul isu sengketa Laut China Selatan, AS pun berupaya menggunakan isu tersebut untuk memperkuat pengaruhnya di kalangan negara-negara Asia Tenggara.

"AS berusaha mempengaruhi negara-negara Indo-Pasifik, bahwa ada ancaman di kawasan tersebut, yakni China. Upaya itu dilakukan untuk mengimbangi melemahnya kekuatan militer mereka di kawasan," terang KSAU periode 2002-2005 itu.

Dalam kesempatan yang sama, pemerhati isu-isu global, Prof Imron Cotan mengungkapkan, sebagai sebuah negara kontinental, AS memiliki prinsip menghindarkan diri dari peperangan di negaranya sendiri.

Karena itu, sejak dulu, Amerika selalu menerapkan "forward strategy", yaitu hanya ingin berperang di luar wilayah negaranya. Pemboman Pearl Harbour dan serangan teroris 9/11, membuat AS secara kalap melancarkan "War On Terror" (WOT), yang praktis gagal, khususnya di Afghanistan

"Sehingga ketika terjadi peristiwa Pearl Harbour dan 9/11, sesungguhnya AS sangat terluka, dan mengamuk. Pasca 9/11, misalnya, AS juga segera menyerang Afghanistan, untuk memburu Osama bin Laden sekaligus menjatuhkan Taliban," ujar Cotan.

Namun, lanjut Cotan, pasca kegagalan-kegagalan tersebut, AS  kembali mencari "musuh bersama" dan tampaknya China secara konsensus ditinjau dari perspektif tersebut.

"Kalau ketika perang Vietnam dan Afghanistan dulu, publik Amerika tidak mendukung, tapi tampaknya untuk China, Amerika satu suara bahwa China adalah  'common enemy', terutama bila dikaitkan dengan perang dagang," ujar Cotan.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto selaku pemantik diskusi menyatakan, kegagalan inisiatif multinasional AS memerangi terorisme di Timur Tengah, yang ditutup dengan kapitulasi negara tersebut dari Afghanistan, memunculkan kecenderungan kuat AS menyerahkan perang melawan terorisme kepada negara-negara terkait.

Dituturkan Hery, AS kembali mengkonsentrasikan diri untuk menandingi pengaruh China yang semakin meningkat di kawasan Indo-Pasifik akhir-akhir ini.

"Indikator kuat terjadinya hal itu terdeteksi dari pembentukan pakta militer baru Australia, Inggris, dan Amerika (AUKUS). Dan peningkatan ketegangan akibat perebutan pengaruh China-AUKUS tersebut berpotensi mengganggu stabilitas politik dan keamanan regional, dimana  Indonesia termasuk di dalamnya," ujarnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA