Selamat Idul Fitri
Selamat Idul Fitri Mobile
Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Paradoks Konsolidasi Operator Telko, Langkah Akselerator Justru Terbelenggu

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/idham-anhari-1'>IDHAM ANHARI</a>
LAPORAN: IDHAM ANHARI
  • Selasa, 28 Desember 2021, 22:31 WIB
Paradoks Konsolidasi Operator Telko, Langkah Akselerator Justru Terbelenggu
Ilustrasi/Net
rmol news logo Seyogianya grand design yang disiapkan regulator untuk mendorong konsolidasi operator telekomunikasi sudah tepat dan terukur menuju kondisi ideal. Berbagai pertimbangan mulai dari mengantisipasi disrupsi teknologi digital beserta dampaknya, program merdeka sinyal dalam hal pemerataan pembangan, hingga prioritas kebutuhan konsumen sudah terjawab dengan langkah konsolidasi operator telko.

Namun, berbeda di atas kertas, berbeda pula di lapangan. Ternyata spirit yang menyemangati grand design konsolidasi operator justru menimbulkan paradoks baru. Dorongan regulator untuk menerapkan konsolidasi operator telko justru menjadi bumerang, ketika realisasinya berubah 360 derajat.

Contoh konkret terjadi baru-baru ini. Tepat di depan mata. Merespons dorongan regulator, tepatnya pada pertengahan September 2021, Ooredoo Q.P.S.C dan CK Hutchison Holding Limited mengumumkan penggabungan bisnis anak usaha mereka masing-masing di Indonesia, yaitu  PT Indosat Tbk dan PT Hutchison 3 Indonesia.

Penggabungan hasil merger tersebut diberi nama PT Indosat Ooredoo Hutchison Tbk, di mana PT Hutchison 3 Indonesia akan bubar demi hukum, seluruh aset dan liabilitas PT Hutchison 3 Indonesia akan beralih ke PT Indosat Ooredoo Hutchison Tbk.
Hasil merger ini akan membuat perusahaan baru hasil merger, PT Indosat Ooredoo Hutchison Tbk menjadi perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Indonesia, dengan estimasi pendapatan tahunan mencapai Rp 42 triliun (68% Indosat dan 32% Hutch 3 Indonesia).

Merespons merger tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan menyetujui dengan aksi korporasi yang dilakukan dua operator telekomunikasi yakni PT Indosat Ooredoo Tbk dan PT Hutchison 3 Indonesia. Namun, frekuensi kedua operator telekomunikasi tersebut dikurangi oleh regulator.

Nah, di sinilah paradoks pertama mengemuka, apalagi jika dikaitkan dengan berlakunya Undang-undang (UU) Ciptaker mengenai kerjasama penggunaan spektrum antar operator. Hal ini bisa menjadi preseden yang buruk bagi industri telekomunikasi tanah air, terkhusus dalam upaya penguatan perusahaan telekomunikasi di indonesia melalui konsolidasi operator telekomunikasi. Lahirnya dan berlakunya UU Ciptaker ditujukan untuk memberikan stimulus dalam investasi, bagaimana investor semakin diyakinkan lagi dengan kepastian hukum dari UU tersebut, meskipun kini UU Ciptaker diminta untuk direvisi oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

“Hal ini bisa menjadi preseden yang buruk bagi industri telekomunikasi tanah air, terkhusus dalam upaya penguatan perusahaan telekomunikasi di indonesia melalui konsolidasi operator telekomunikasi. Lahirnya dan berlakunya UU Ciptaker ditujukan untuk memberikan stimulus dalam investasi, bagaimana investor semakin diyakinkan lagi dengan kepastian hukum dari UU tersebut,” kata Head of Research Praus Capital, Alfred Nainggolan dalam keterangan tertulis, Selasa (28/12).

Pengurangan frekuensi terhadap perusahaan hasil merger bisa menjadi kontraproduktif, karena tentu salah satu tujuan utama dari merger operator telekomunikasi adalah memaksimalkan frekuensi yang dimiliki nantinya. Dalam kacamata bisnis, tentu keputusan merger Indosat dan Hutchison 3 mengharapkan bisa memaksimalkan frekuensi yang dimiliki oleh Indosat dan juga Hutchinson 3. Namun, jika mengetahui akan ada pengurangan hasil frekuensi pasca merger, tentu keputusannya akan berbeda.

Seakan mengulangi dilema yang sama, sebenarnya pengurangan frekuensi pasca marger ini pernah terjadi di kasus marger XL Axiata dan Axis tahun 2014. Jika hal ini dianggap angin lalu saja, itu berarti kehadiran UU Ciptaker khusus di sektor telekomunikasi tidak menjadi pembeda (tidak memberikan stimulus), seperti yang selama ini digaungkan oleh pemerintah. Terjadi paradoks di tingkat konseptual regulasi dengan kenyataan praktis di lapangan.

Namun, bukanlah aneh jika hal itu terjadi di negeri ini. Berbagai paradoks yang timbul dalam penataan berbagai sektor industri di Indonesia mestinya membuat seluruh stakeholders lebih bijak dan netral untuk memajukan Merah Putih, dengan memprioritaskan kebutuhan konsumen.

Trend kebutuhan konsumen telah berubah drastis akibat pandemi Covid-19 yang telah berjalan lebih dari 21 bulan terakhir. Kondisi itu memicu perubahan landskap dan dinamika di seluruh sektor usaha, terutama telekomunikasi. Kebutuhan akan akses internet yang lebih terjangkau, tapi dengan kecepatan yang makin tinggi, sudah menjadi basic need masyarakat saat ini.

“Hal ini bisa menjadi preseden yang buruk bagi industri telekomunikasi tanah air, terkhusus dalam upaya penguatan perusahaan telekomunikasi di indonesia melalui konsolidasi operator telekomunikasi. Lahirnya dan berlakunya UU Ciptaker ditujukan untuk memberikan stimulus dalam investasi, bagaimana investor semakin diyakinkan lagi dengan kepastian hukum dari UU tersebut,” ujarnya.

Sektor telekomunikasi bukan hanya menjadi jantung untuk menghubungkan komunikasi semata dewasa ini, tapi justru pilar untuk membangun tatanan digital yang lebih besar sehingga menghubungkan berbagai sektor secara efisien dan cepat. Amat disayangkan jika regulator kurang menangkap trend ini sehingga justru mematikan langkah untuk mengakselerasi disrupsi besar yang terjadi ini.

Dalam bahasa yang lebih lumrah, konsolidasi operator telko semestinya menjadi momentum untuk membawa efisiensi operasional sehingga menguntungkan konsumen secara luas seperti dalam penyediaan biaya internet yang lebih terjangkau. Di sini lah paradoks kedua yang masih belum dicerna oleh seluruh stakeholders terutama regulator terkait.

Dua paradoks ini seyogianya menjadi bahan pelajaran dan evaluasi berharga menuju Indonesia yang lebih baik di masa depan. Tentu kita semua berharap industri telekomunikasi sebagai pilar utama disrupsi digital dan revolusi industri 4.0 memberikan kontribusi terbaik, bukan sebaiknya justru mundur secara perlahan.

“Pengurangan frekuensi pasca marger ini mengulang kembali kasus marger XL Axiata dan Axis tahun 2014, yang artinya kehadiran UU Ciptaker khusus di sektor telekomunikasi tidak menjadi pembeda (tidak memberikan stimulus), seperti yang selama ini digaungkan oleh pemerintah,” katanya.

Indonesia butuh industri Information and Communication Technology (ICT) yang tangguh ke depan. Kondisi ideal itu mustahil tercipta tanpa persaingan yang makin sehat sehingga memprioritaskan kebutuhan konsumen. Jangan sampai seluruh kekuatan bangsa ini telah bersatu untuk mendorong ekonomi Indonesia menuju terbesar kelima dunia pada 2030, namun justru terbelenggu dengan hambatan di sektor telekomunikasi. Sangat ironis.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA