Begitu kata Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI Maneger Nasution kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (8/1).
Pernyataan Manager ini berkaitan dengan kasus pemerkosaan yang diduga dilakukan anak anggota DPRD Pekanbaru terhadap siswi SMP yang berujung berujung damai.
Korban pemerkosaan A (15) kini telah mencabut laporannya terhadap pelaku AR (20) di Polresta Pekanbaru. Pelaku AR yang sebelumnya sempat ditahan di Polresta Pekanbaru akhirnya dibebaskan dan diharuskan wajib lapor dua kali dalam seminggu.
“Polisi sejatinya tidak bisa menghentikan proses penyidikan dengan bersandar adanya persetujuan perdamaian antara korban dan keluarganya dengan pelaku, mengingat perkosaan adalah delik biasa,†ujar Manager.
Menurutnya, meski korban atau pelapor telah mencabut laporannya, kepolisian tetap berkewajiban memproses perkara tersebut. Pihak-pihak yang memfasilitasi proses perdamaian dan kemudian berujung penangguhan penahanan terhadap pelaku, juga perlu dilakukan pemeriksaan.
“Apakah langkah mereka benar-benar sesuai prosedur atau diduga terjadi pelanggaran,†tegasnya.
Manager mengingatkan, jika perdamaian tersebut dimaknai sebagai upaya
restorative justice, dalam Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana, memiliki prinsip pembatasan.
Misalnya, pemenuhan syarat formil salah satunya adalah bahwa semua tindak pidana dapat dilakukan
restorative justice terhadap kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia.
“Pemerkosaan ini korbannya manusia. Jika benar dilakukan langkah-langkah untuk mendamaikan, tindakan tersebut telah melanggar Surat Edaran Kapolri dimaksud,†tegasnya.
Meskipun pada akhirnya terjadi perdamaian, LPSK mendorong kepolisian untuk tetap menuntaskan kasus tersebut secara profesional dan independen. LPSK mendukung niat Kapolri untuk membentuk Direktorat Layanan Perempuan dan Anak di Bareskrim Polri, agar anggota kepolisian memiliki fokus penanganan perkara dan mendapatkan arahan kebijakan dan supervsisi yang tepat.
Dalam tiga tahun terakhir, catatan LPSK menunjukkan perlindungan dalam perkara-perkara kekerasan seksual cenderung mengalami peningkatan. Pada 2019 terdapat 359 pemohon, 2020 terdapat 245 pemohon, dan di tahun 2021 terdapat 482 Pemohon.
Kecenderungan naiknya permohonan perlindungan pada perkara kekerasan seksual, hendaknya menjadi perhatian dan keprihatian bersama.
“Selain angkanya yang tinggi dengan berbagai modus, perbuatan ini juga terjadi di ruang-ruang yang minim pengawasan. Misalnya, lingkup keluarga, tempat pendidikan dan ibadah,†tutupnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: