Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jadwal Pilkada Serentak 2024 Berpotensi Perburuk Tata Kelola Ratusan Daerah

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Senin, 10 Januari 2022, 16:30 WIB
Jadwal Pilkada Serentak 2024 Berpotensi Perburuk Tata Kelola Ratusan Daerah
Pengamat politik dari Paramadina Public Policy Institute, Septa Dinata
rmol news logo Penetapan Jadwal pelaksanaan Pilkada Serentak yang jatuh pada November 2024, sebagaimana diatur di dalam Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016 tentang Pilkada, tak disepakati sepenuhnya oleh publik.

Penolakan atas perintah UU Pilkada tersebut salah satunya disampaikan pengamat politik dari Paramadina Public Policy Institute, Septa Dinata.

Septa mengatakan, penetapan tersebut merupakan lanjutan dari kebijakan memundurkan jadwal Pilkada di ratusan daerah, yang seharusnya melakukan pergantian kepala daerah pada 2022.

Imbas dari kebijakan tersebut, urai Septa, ratusan daerah akan dipimpin oleh penjabat (Pj) gubernur, bupati, dan walikota mulai pertengahan 2002. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri, jumlahnya mencapai 101 kepala daerah.

Septa menilai, lebih dari 100 daerah yang akan dipimpin oleh penjabat dalam waktu yang cukup lama berpotensi menimbulkan kekacauan dalam pengelolaan pemerintahan daerah.

"Kewenangan penjabat dan kepala daerah definitif sangat jauh berbeda. Penjabat tidak memiliki kewenangan dalam mengeluarkan keputusan strategis," jelas Septa kepada wartawan, Senin (10/1).

Meskipun Permendagri 74 tahun 2016 sudah memberikan kewenangan kepada penjabat kepala daerah untuk menandatangani RAPBD, APBD, dan mengangkat pejabat daerah secara terbatas, menurut Septa, kewenangan penjabat tetap masih sangat terbatas dan berpotensi menimbulkan persoalan lain.

"Penjabat kepala daerah tetap tidak punya kewenangan dalam mengeluarkan, memperpanjang, atau membatalkan perizinan," tuturnya

Septa memberikan contoh konkret yang terjadi di Lumajang, Jawa Timur. Di mana, keputusan penjabat kelapa daerah dibatalkan oleh pengadilan karena bukan bagian dari kewenangannya.

Selain itu, Septa juga menyoroti perihal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang menjadi dasar penyusunan APBD melekat pada kepala daerah definitif.

Sehingga, seiring berakhirnya masa jabatan kepala daerah maka akan berakhir pula RPJMD-nya.

“Dengan masa yang cukup lama, penjabat kepala daerah tak punya RPJMD. Karena RPJMD adalah turunan dari visi dan misi kepala daerah terpilih dan disusun untuk jangka lima tahunan," terang Septa.

"Jadi, daerah-daerah akan berpotensi menjadi tidak terarah dalam dua tahun ke depan, karena penjabat kepala daerah tidak punya itu (RPJMD)," sambungnya.

Menurut Septa, potensi kekacauan ini juga bisa berasal dari penguasaan yang minim penjabat kepala daerah terhadap daerah yang akan dipimpinnya.

Pasalnya, dia melihat para penjabat yang akan ditunjuk memimpin suatu daerah bakal berasal dari pemerintah pusat untuk kalangan eselon I, dan dari provinsi untuk eselon II.

Sehingga ia memperkirakan, para pejabat yang ditunjuk kemungkinan tidak menguasai permasalahan di daerah, dan berpotensi rangkap jabatan seperti kebiasaan-kebiasaan sebelumnya.

"Ini pasti akan buruk untuk jangka waktu yang lama, karena tidak bisa fokus dan harus berbagi waktu. Belum lagi ada potensi diganti di tengah jalan," tandasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA