Dikatakan anggota Komisi I DPR RI Sukamta, kesepakatan yang dibuat dengan negara lain termasuk dalam kategori kebijakan publik dan harus mudah diakses serta disampaikan informasinya secara utuh.
"Dokumen kesepakatan baik terkait ekstradisi, pelayanan ruang udara dan kerjasama pertahanan yang telah ditandangani wajib untuk dapat diakses oleh publik," kata Sukamta kepada wartawan, Senin (31/1).
"Sejauh ini (persoalan FIR) yang beredar adalah penjelasan poin-poin kesepakatan, bukan dalam bentuk dokumen resmi yang telah ditandangani," sambungnya.
Dikatakan Wakil Ketua Fraksi PKS ini, wilayah Kepuluan Natuna dan Kepulauan Riau sangat strategis bagi Indonesia. Sehingga, ada harapan publik, kedaulatan baik di darat, laut maupun udara berada dalam ruang kendali pihak Indonesia sepenuhnya.
Pengelolaan kedaulatan negara, kata dia, berdasarkan kesepakatan yang termaktub dalam UNCLOS III 1982 dan Konvensi Chicago 1944, di mana disebutkan kedaulatan negara di ruang udara di atas teritorinya adalah bersifat ekslusif.
"Artinya ruang udara di atas wilayah kepulauan Natuna dan Riau adalah kedaulatan Indonesia. Jika mendasarkan klaim ini, mestinya pengelolaan FIR di wilayah tersebut dikelola oleh Indonesia," terangnya.
Sukamta menduga, poin-poin kesepakatan terkait FIR terasa tidak banyak perubahan dibanding kesepakatan lama, sehingga tidak dibuka secara gamblang kepada publik.
"Seperti terkait pengelolan ruang udara pada ketinggian 0 sampai 37.000 kaki masih menjadi kewenangan Singapura. Ini karena daya tawar Indonesia tidak cukup kuat. Indonesia sejauh ini belum bisa masuk anggota ICAO (
International Civil Aviation Organization) kategori III, sementara Singapura sudah pada Kategori II," pungkasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: