Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dukungan Petisi "Pak Presiden, 2022-2024 Bukan Waktunya Memindahkan Ibukota" Tembus 7 Ribu Tanda Tangan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Minggu, 06 Februari 2022, 07:39 WIB
Dukungan Petisi "Pak Presiden, 2022-2024 Bukan Waktunya Memindahkan Ibukota" Tembus 7 Ribu Tanda Tangan
Salah satu desain bangunan di ibukota negara baru/Net
rmol news logo Desakan kepada Presiden Joko Widodo untuk menghentikan rencana pemindahan dan pembangunan Ibukota Negara (IKN) di Kalimantan Timur terus berdatangan dari berbagai elemen masyarakat.

Desakan itu pun memunculkan ajakan kepada masyarakat Indonesia untuk menandatangani sebuah petisi dengan judul "Dukung Suara Rakyat: Pak Presiden, 2022-2024 Bukan Waktunya Memindahkan Ibukota".

Pantauan Kantor Berita Politik RMOL di website petisi change.org pada Minggu (6/2) pukul 07.30 WIB, sudah ada 7.665 dukungan yang telah ikutserta menandatangani petisi digital ini. Dukungan pun terlihat terus bertambah setiap waktunya dengan target sementara memperoleh 10 ribu dukungan.

Dalam penjelasannya, petisi tersebut dimulai oleh Narasi Institute pada dua hari lalu.

CEO dan Co-Founder Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat menjelaskan dalam petisi tersebut bahwa, memindahkan IKN menurutnya tidak tepat di tengah situasi pandemi Covid-19.

"Apalagi kondisi rakyat dalam keadaan sulit secara ekonomi sehingga tak ada urgensi bagi pemerintah memindahkan ibukota negara," ujar Nur Hidayat dalam penjelasan petisi tersebut.

Terlebih kata Nur Hidayat, saat ini pemerintah harus fokus menangani varian baru Omricon yang membutuhkan dana besar dari APBN dan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Menurut Nur Hidayat, pembangunan IKN di saat seperti ini hendaknya dipertimbangkan dengan baik. Apalagi, saat ini Indonesia memiliki utang luar negeri yang besar, defisit APBS besar di atas tiga persen dan pendapatan negara yang turun.

Sehingga, sangat bijak jika Presiden tidak memaksakan keuangan negara untuk membiayai proyek IKN. Sementara itu, infrastruktur dasar lainnya di beberapa daerah masih buruk hingga sekolah rusak dan beberapa jembatan desa terabaikan tidak terpelihara.

Proyek pemindahan dan pembangunan IKN dianggap tidak akan memberi manfaat bagi rakyat secara keseluruhan dan hanya menguntungkan segelintir orang saja.

Oleh karena itu, pemindahan IKN dari Jakarta merupakan bentuk kebijakan yang tidak berpihak secara publik secara luas, melainkan hanya kepada penyelenggara proyek pembangunan tersebut.

Apalagi, penyusunan naskah akademik tentang pembangunan IKN tidak disusun secara komprehensif dan partisipatif, terutama dampak lingkungan dan daya dukung pembiayaan serta keadaan geologi dan situasi geostrategis di tengah pandemi.

Selain itu, lokasi yang dipilih berpotensi menghapus pertanggungjawaban kerusakan yang disebabkan para pengelola tambang batubara. Tercatat ada sebanyak 73.584 hektare konsesi tambang batu bara di wilayah IKN yang harus dipertanggungjawabkan.

"Pertanyaan besar publik adalah benarkah kepentingan pemindahan ibukota baru adalah untuk kepentingan publik. Kami memandang saat ini bukanlah waktu yang tepat memindahkan Ibukota Negara dari Jakarta ke Penajam Pasir Utara Kalimantan Timur," jelas Nur Hidayat.

Nur Hidayat pun mengajak segenap anak bangsa yang peduli akan masa depan bangsa dan kedaulatan bangsa untuk menandatangani petisi tersebut.

"Kami, para inisiator mengajak seluruh warga negara Indonesia untuk mendukung ajakan agar Presiden menghentikan rencana pemindahan dan pembangunan Ibukota Negara di Kalimantan," pungkasnya.

Dalam penjelasan petisi ini pun juga dibeberkan siapa saja pihak-pihak yang menjadi inisiator. Tercatat, sebanyak 45 tokoh yang turut menjadi inisiator.

Mereka yaitu, Prof Sri Edi Swasono, Prof Azyumardi Azra, Prof Din Syamsuddin, Anwar Hafid, Prof Nurhayati Djamas, Prof Daniel Mohammad Rasyied, Mayjen Purn Deddy Budiman, Prof Busyro Muqodas, Faisal Basri, Prof Didin S. Damanhuri, Prof Widi Agus Pratikto, Prof Rochmat Wahab.

Selanjutnya, Jilal Mardhani, Muhamad Said Didu, Anthony Budiawan, Prof Carunia Mulya Firdausy, Mas Ahmad Daniri MA, TB Massa Djafar, Abdurahman Syebubakar, Prijanto Soemantri, Prof Syaiful Bakhry, Prof Zaenal Arifin Hosein, Ahmad Yani, Umar Husin, Ibnu Sina Chandra Negara, Merdiansa Paputungan, Nur Ansyari, Ade Junjungan Said, Gatot Aprianto, Fadhil Hasan, Abdul Malik.

Kemudian, Achmad Nur Hidayat, Sabriati Aziz, Moch Najib YN, Muhamad Hilmi, Engkur, Marfuah Musthofa, Masri Sitanggang, Mohamad Noer, Sritomo W Soebroto, M. Hatta Taliwang, Prof Mas Roro Lilik Ekowanti, Reza Indragiri Amriel, Mufidah Said, dan Ramli Kamidin. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA