Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pak Jokowi, Jadilah Negarawan Besar Seperti Habibie

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/henrykus-sihaloho-5'>HENRYKUS SIHALOHO</a>
OLEH: HENRYKUS SIHALOHO
  • Minggu, 27 Februari 2022, 22:44 WIB
Pak Jokowi, Jadilah Negarawan Besar Seperti Habibie
Presiden Joko Widodo dan Presiden ketiga RI B.J. Habibie/Net
TULISAN ini memiliki substansi yang hampir sama dengan artikel yang berjudul “Habibie Versus Jokowi” yang dimuat oleh Redaksi RMOL 14 Januari 2022 yang lalu.  
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Cerita tentang Habibie sepertinya bisa luar biasa panjang, meski jabatannya sebagai Presiden RI terpendek hingga  kini.  Habibie itu seperti kata pepatah, "Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama”.

Sulit membayangkan, bila Habibie tidak ada, apakah republik ini masih ada? Apakah nama-nama yang muncul dalam ingatan publik hanya berhenti pada KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono?

Pasti tidak ada yang membayangkan Mikhail Sergeyevich Gorbachev menjadi nama orang nomor satu terakhir dari Uni Soviet.  Kini nama keduanya, Gorbachev dan Soviet, tinggal kenangan.

Bisa dipastikan, Gorbachev pun tidak pernah membayangkan Rusia (etnis ayahnya) dan Ukrania (etnis ibunya) kini berantuk. Di usianya yang menjelang 91 tahun (lahir 2 Maret 1931), Gorbachev mungkin tidak kuasa bersuara mengingatkan juniornya Vladímir Vladímirovich Pútin yang kini berbeda haluan dengannya untuk menghentikan perang sesama bekas negaranya.

Meski Soviet kini tinggal nama, nama Gorbachev tetap dikenang lantaran berjasa  menghentikan Perang Dingin sampai ia mendapat hadiah Nobel Perdamaian.  Sementara itu, legacynya bagi negaranya yang kini bernama Rusia adalah kebijakan glasnost ("keterbukaan") yang membuka kebebasan berbicara dan kebebasan pers.

Habibie meski tidak pernah meraih nobel dan namanya tidak sepopuler Gorbachev di luar negaranya, namun legacynya tidak hanya memberi ruang pada kebebasan berpendapat, kemerdekaan pers, dan meniadakan pembreidelan, beliau juga merangkul oposisi dengan membebaskan narapidana politik. Habibie bahkan bisa mengatasi karut-marut krisis ekonomi dan membuat rupiah yang tadinya Rp 17 ribu bertengger di Rp 6.500 per dolar AS.

Penulis berani mengatakan, Habibie bisa menyelamatkan Indonesia sehingga tidak bernasib seperti Soviet (dan Yugoslavia) karena ia berani melawan kehendak jahat oligarki melalui UU 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat dan UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, independensi BI dengan menerbitkan UU 23/1999 tentang BI, dan sejumlah UU lain yang lahir di masa pemerintahannya, termasuk 4 UU Politik dan Pers pada 1999 (UU 2/1999 tentang Parpol, UU 3/1999 tentang Pemilu, UU 4/1999 tentang MPR, DPR, dan DPRD, dan UU  40/1999 tentang Pers).

Pada tulisan yang berjudul “Habibie Versus Jokowi” Penulis mengatakan, seandainya Habibie masih hidup, beliau pasti akan marah pada usulan oligarki yang disampaikan oleh Bahlil atas nama pengusaha untuk menunda Pilpres. Kini, seandainya Habibie masih hidup seperti Gorbachev, beliau tidak bakal diam saja seperti Gorbachev.

Niscaya beliau akan marah luar biasa dan bersuara lantang agar Presiden Jokowi mewaspadai jebakan yang lahir dari usulan susulan Bahlil yang disuarakan partai-partai koalisi di luar PDIP yang bukan tidak mungkin mengakhiri kekuasaan Jokowi sehingga tidak sampai 2024, tetapi juga berpotensi membuat nama Republik Indonesia menguap dari permukaan bumi.

Sekarang segalanya terpulang kepada Presiden Jokowi: mau membuka kotak pandora dengan perpanjangan masa jabatan kedua atau menambah periode?  Bila Bapak membuka kotak pandora, Bapak bukan hanya menampar muka Bapak seperti yang dulu Bapak katakan, Bapak juga menampar keras muka Bapak Habibie yang sudah rela memperpendek masa jabatannya dan mempercepat Pemilu untuk melahirkan pemimpin berikutnya:  KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, dan seterusnya.

“Pak Jokowi, bila Bapak mengikuti kata-kata Ibu Mega, Bapak dengan sendirinya mengikuti kata-kata konstitusi dan dengan tulus berkenan meneladani Pak Habibie.  Saya tidak bisa membayangkan bila Bapak berani melawan mereka.  Sudah barang tentu saya tidak bisa dan takut membayangkan apakah dengan keberanian Bapak membuka kotak pandora negara ini akan seperti Soviet?

Sebagai pemilih Bapak yang militan di Pemilu 2014 dan 2019, saya yakin Bapak bukan wayang dan hamba oligarki, tetapi Bapak hamba Tuhan dan hamba rakyat yang menghendaki Bapak memilih jalan yang diteladankan oleh Habibie. Bapak tidak perlu mempercepat Pemilu, tetapi percepatlah lahirnya UU yang memungkinkan lahirnya pemimpin berikutnya yang merdeka dari pengaruh oligarki.

Bila perlu keluarkan Perppu yang berisi Preshold 0 persen, sehingga lahir Soekarno baru, Habibie baru, Gus Dur baru, Megawati baru, dan Soekarno dan Gus Dur baru (yang terakhir ini tentu gabungan dari keempatnya mengingat Habibie itu cerdas dan tulus seperti Soekarno yang memikirkan kelanggengan nama negerinya dan Megawati itu marhaenis seperti Soekarno).” rmol news logo article

Penulis adalah Dosen Universitas Katolik Santo Thomas

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA