Mulai dari alasan gangguan pemulihan ekonomi yang disampaikan Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar hingga
big data yang menyebutkan 110 juta pengguna media sosial menginginkan Pemilu 2024 ditunda sebagaimana disampaikan Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
"Saya menyayangkan cara berpikir Luhut dan Muhaimin karena membuat kesimpulan sembrono," kritik Analis Sosial Politik UNJ, Ubedilah Badrun kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Senin (14/3).
Ubed berpandangan, penafsiran penundaan Pemilu 2024 berdasarkan algoritma
big data sangat berbahaya.
"Itu berbahaya sekali, bagaimana cara bekerja
big data-nya Luhut dan bagaimana cara Luhut menafsirkan itu metodologinya patut dipertanyakan," lanjut Ubedilah.
Pun demikian dengan metodologi Muhaimin Iskandar mengenai alasan pemulihan ekonomi. Muhaimin, kata Ubed, perlu berbicara secara gamblang mengenai data-data yang ia dapatkan agar menjadi jelas.
"Sebab urusan menunda Pemilu itu soal yang sangat strategis dalam agenda politik nasional. Maka perspektifnya harus holistik tidak cetek seperti dari data kuantitatif dan
big data yang tafsirnya keliru," sambungnya.
Baginya, urusan sestrategis penundaan Pemilu 2024 memerlukan perspektif holistik dan komprehensif. Analisis kualitatif dan substantif juga harus digunakan dalam mengambil keputusan.
Menunda Pemilu, kata Ubed, itu memerlukan argumen-argumen kualitatif mendalam, empirik, dan lain-lain.
Oleh karenanya, ia menantang Luhut dan Muhaimin untuk berdebat membuka data-data alasan penundaan Pemilu kepada publik.
"Jika Muhaimin dan Luhut ngotot, saya berhak menantang mereka untuk membuka data di meja perdebatan akademik tanpa apriori. Perdebatan yang
equal dan transparan di ruang publik. Kita bedah bersama-sama dalam debat terbuka," tandasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: