Hal itu diungkap pemohon pertama dalam perkara ini, Syafril Sjofyan, dalam keterangannya kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Senin (21/3).
"Pada sidang kedua MK yang dipimpin ketua panel Hakim Arif Hidayat, waktunya pendek sekali, kesannya persidangan diselenggarakan sangat terburu-buru. Alasannya karena akan sidang lain, sementara sidang MK juga sudah dimulai terlambat 11 menit," ujat Syafril.
Dalam sidang kali ini, dijelaskan Syfril, pihaknya telah memperbaiki permohonan gugatan yang diperintahkan Hakim Konstitusi pada Sidang Pendahuluan yang digelar 7 Maret 2022.
"Ada sekitar 20 point dalil baru tentang
legal standing dan hak konstitusional yang menurut kami sangat berbeda, dan dengan argumen hukum yang kokoh," imbuhnya.
Hanya saja, dalam sidang perkara Nomor 13/PUU-XX/2022 kali ini, Syafril menganggap seharusnya Hakim Konstitusi memberikan ruang dan waktu yang lebih kepada para pemohon untuk memaparkan argumentasinya.
Sebab dia menegaskan, materi gugatan yang sudah diperbaiki untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden
(presidential threshold), jauh berbeda dengan gugatan yang dilayangkan pihak lain dan sudah diputuskan ditolak MK.
"Untuk hal tersebut, kami berharap pleno hakim secara lengkap akan mempelajari dalil-dalil secara detail pada dokumen gugatan perbaikan kami tersebut, menurut kami lima kriteria uji legal standing terpenuhi," tandasnya.
Dalam uji materiil ini, Syafril menjadi pemohon bersama-sama dengan sejumlah warga Bandung, yang di antaranya Tito Roesbandi, Elyan V Hakim, Endang Wuryaningsih, Ida Farida, Neneng Khodijah dan Lukmanul Hakim.
Mereka merupakan warga yang dalam kesehariannya beraktivitas sebagai wiraswasta dan ibu rumah tangga (IRT).
Saat sidang pendahuluan, para Pemohon mengatakan jika ketentuan Pasal 222 UU Pemilu melanggar hak konstitusional partai politik dalam menyediakan dan menyeleksi sebanyak-banyak calon pemimpin masa depan.
Secara konseptual menurut para Pemohon, konstruksi normatif dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 meletakkan dua kepentingan secara bersamaan, yakni hak untuk memilih dan hak untuk dipilih sebagai warga negara.
Sehingga, ketentuan pasal tersebut berkorelasi dengan terlanggarnya hak konstitusional para Pemohon dalam hal mendapatkan sebanyak-banyaknya pilihan pemimpin yang akan menyelenggarakan pemerintahan pada pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2024 nanti.
Para Pemohon berpendapat partai politik hanyalah kendaraan bagi para calon presiden dan wakil presiden, sedangkan penerima manfaat utama dari penyelenggaraan pemilihan tersebut adalah warga negara.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: