Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sengkarut Migor Tak Kunjung Tuntas, Ekonom: Ini Bentuk Pembajakan Ekonomi Pancasila

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Jumat, 25 Maret 2022, 13:10 WIB
Sengkarut Migor Tak Kunjung Tuntas, Ekonom: Ini Bentuk Pembajakan Ekonomi Pancasila
Direktur Center of Economic and Law Studie (Celios), Bhima Yudhistira/Net
rmol news logo Sistem perekonomian Indonesia yang berlandaskan prinsip Pancasila dan diamanatkan dalam UUD 1945, patut diduga tidak dijalankan pemerintah dalam menuntaskan persoalan stabilitas harga dan ketersediaan minyak goreng.

Begitu pendapat Direktur Center of Economic and Law Studie (Celios), Bhima Yudhistira, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (25/3).

Sebagai seorang ekonom, Bhima melihat jelas dua persoalan utama dari kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng yang tidak masuk akal. Di mana, kelangkaan terjadi ketika pemerintah memberlakukan harga eceran tertinggi (HET).

Tapi ketika aturan harga batas atas tersebut dicabut, justru Bhima mendapati stok melimpah ruah di banyak retail, dan muncul beragam merk baru minyak goreng kemasan yang kini paling murah dibanderol Rp 24.000 per liter.  

"Permainan minyak goreng ini kan cukup jelas, pelakunya mulai dari produsen sampai dengan distributor. Kenapa? Karena begitu HET-nya dilepas pasokannya mulai muncul lagi," ujar Bhima.

Pencabutan HET oleh Kementerian Perdagangan menurut Bhima, adalah satu gambaran dari posisi pemerintah yang tidak mampu menguasai sumber daya yang menjadi kebutuhan orang banyak.

Padahal di dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 telah mengamanatkan negara, dalam hal ini pemerintah, untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menjadi hajat hidup orang banyak.

"Ini menunjukkan bahwa pemerintah kalah berhadapan dengan mafia pangan yang memang terstruktur, sistematis dan masif. Yang jelas mereka (mafia migor) berhasil mengangkangi kewenangan negara," tutur Bhima.

Padahal, lanjut mantan peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef) ini, negara seharusnya bisa mengingatkan kepada pengusaha sawit bahwa mereka bisa memproduksi sawit karena tanah yang dipakai adalah pemberian negara melalui hak guna usaha (HGU).

"Sebagian besar produsen-produsen sawit itu kan tanahnya menyewa ke negara melalui HGU," imbuhnya.

Maka dari itu, Bhima berpendapat bahwa pemerintah seharusnya bisa menundukkan hasrat rakus pengusaha yang menimbun stok pangan untuk mendulang banyak keuntungan dengan dua cara. Yakni, mengalihkan HGU yang diberikan kepada BUMN untuk dikelola, serta memberlakukan tarif pajak yang tinggi terhadap mereka.

"Jadi seharusnya kalau negara mulai merasa diintimidasi oleh pengusaha, dan karena ini adalah pembajakan sistem ekonomi pancasila, yang dilakukan adalah mengusut melalui dua hal tersebut. Cara alternatif itu semestinya bisa dilakukan," katanya.

Di samping itu, Bhima juga menyarankan kepada penegak hukum untuk aktif mengusut tuntas persoalan minyak goreng ini. Karena, ada dugaan kongkalikong mafia minyak goreng dengan oknum pemangku kebijakan yang menjadi dalang persoalan minyak goreng ini. Hal itu terlihat dalam menetapkan aturan yang bermula dari penetapan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), dan dilanjutkan dengan HET.

Soal ketetapan kebijakan DMO, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi pada awal Maret lalu menetapkan naik menjadi 30 persen dari mulanya 20 persen. Akhirnya, eksportir minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) menahan diri untuk ekspor, lantaran potensi merugi hebat akibat naiknya kewajiban pasokan bahan baku dalam negeri tersebut.

Beriringan dengan itu, kebijakan HET yang berlaku dalam Permendag 6/2022, yang menetapkan harga minyak goreng curah Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter, justru menimbulkan kelangkaan di pasaran.

Namun setelah aturan HET dicabut, dan dikeluarkan kebijakan baru mengenai harga minyak goreng curah Rp 14.000 per liter yang disubsidi pemerintah melalui skema pendanaan kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), faktanya di lapangan juga terjadi kelangkaan minyak goreng curah di pasar tradisional.

Sementara, bersamaan dengan dikeluarkannya kebijakan harga minyak goreng curah tersebut, pemerintah memberikan keleluasaan kepada pasar, dalam hal ini produsen dan distributor, untuk menetapkan harga keekonomian yang faktanya kini membuat harga minyak goreng kemasan menjadi Rp 24 ribu per liter untuk yang paling murah.

"Sehingga dari situ, kebijakan kemarin seperti DMO, HET, itu mestinya tetap berlaku. Karena yang salah kan penegakannya, dan kemudian penimbunannya tidak diusut secara tuntas, sehingga pembajakan ekonominya terjadi secara masif," papar Bhima.

"Itu baru satu komoditas. Khawatir kalau ini enggak beres, muncul mafia-mafia atau pembajak ekonomi di komoditas lainnya," pungkasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA