Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Partai Prima: Kembalilah pada Jatidiri Bangsa, Pancasila

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Minggu, 17 April 2022, 17:21 WIB
Partai Prima: Kembalilah pada Jatidiri Bangsa, Pancasila
Ketua Umum (Ketum) Partai Prima, Agus Jabo Priyono/Ist
rmol news logo Di tengah kekecewaan rakyat terhadap janji-janji program Nawacita, pemerintahan Joko Widodo diminta untuk kembali kepada jati diri bangsa, yakni Pancasila.

Sebab, jika yang dilakukan negara bertentangan dengan apa yang dikehendaki dan menjadi kebutuhan hidup rakyat banyak, sekuat apapun kebijakan itu dijaga, maka masyarakat akan mencari jalan sendiri untuk mengekspresikan kehendaknya

"Selama ini Presiden Joko Widodo konsisten menampilkan dirinya sebagai sosok pemimpin yang merakyat, sederhana, manunggal, dan tidak ada jarak dengan rakyat biasa," ujar Ketua Umum (Ketum) Partai Prima, Agus Jabo Priyono, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (17/4).

Belakangan, kata Agus, dalam merespon kenaikan pelbagai kebutuhan pokok, presiden juga rajin berkeliling untuk memberikan bantuan langsung tunai kepada masyarakat. Harapannya, bantuan itu dapat mengurangi penderitaan dan membantu masyarakat dalam mengakses kebutuhannya.

"Berkat kebijakan-kebijakan jangka pendek itu, mantan Walikota Solo ini banyak dielu-elukan setiap kunjungan ke daerah dan menguasai pemberitaan di media massa. Respons cepat yang dilakukan dianggap sebagai bentuk keberpihakan kepada rakyat kecil. Tidak heran, dalam beberapa Lembaga survei tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi rata-rata di atas 70 persen," terang Agus.

Jika mengacu pada pemberitaan dan laporan survei yang memperlihatkan kepuasan publik masih cukup tinggi, apapun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah baik berupa UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan beleid lainnya seharusnya akan mendapatkan dukungan besar dari masyarakat.

"Namun, kenyataannya, dengan branding merakyat dan tingkat kepuasan yang cukup tinggi, hal itu belum mampu menjamin kestabilan politik. Masyarakat dan gerakan mahasiswa masih tetap melawan kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut," paparnya.

Agus menilai, instabilitas politik dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah dimulai semenjak adanya penolakan terhadap revisi UU KPK, RUU KUHP, dan UU Cipta Kerja.

"Jika kondisinya demikian, berarti ada sesuatu yang meresahkan kehidupan rakyat. Menurut pandangan saya, keresahan itu berawal dari kekecewaan rakyat terhadap pemerintah. Rakyat menaruh harapan yang cukup tinggi terhadap Presiden Jokowi, berharap janji-janji hebat seperti program Nawacita maupun program lainnya yang banyak disampaikan dalam pidato-pidato presiden dapat diwujudkan," jelas Agus.

Agus mencatat, dalam proses perjalanan pemerintahan selama delapan tahun ini, justru banyak kebijakan yang bertentangan dengan program yang dijanjikan sebelumnya. Seperti reforma agraria, pertumbuhan ekonomi, pemerintahan bersih, penghentian ketergantungan pada komoditas impor, utang luar negeri, maupun swasembada pangan.

Selain itu, banyak juga penerbitan UU yang melahirkan kekecewaan rakyat. seperti UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan UU KPK.

Beberapa UU tersebut dianggap tidak berpihak kepada rakyat dan hanya memberikan keuntungan kepada segelintir orang super kaya saja atau oligarki.

Di sisi lain, masyarakat masih resah dengan narasi kebencian yang diakibatkan adanya polarisasi "cebong vs kadrun", pandemi Covid-19 yang masih menyisakan kesulitan ekonomi berkepanjangan, penegakan hukum yang tidak adil, kenaikan harga kebutuhan pokok dan tekanan geopolitik dunia yang berakibat pada naiknya harga bahan bakar minyak (BBM).

"Akibat alam liberal kapitalistik, sistem oligarki, kesenjangan sosial, ketidakadilan dan kekuasaan yang koruptif dan serta manipulatif, menjadikan bangsa Indonesia 'sakit akut'," tegas Agus.

Parahnya, kata Agus, di tengah bangsa yang sedang sakit tersebut, tiba-tiba masyarakat dikagetkan dengan manuver isu perpanjangan masa jabatan presiden yang dilemparkan oleh Istana.

Pihak Istana telah melakukan upaya tersebut dengan sistematis dan massif. Mempertaruhkan kewibawaan politik dengan alasan banyak masyarakat yang masih menginginkan pemerintahan saat ini dilanjutkan.

"Situasi semakin krusial, siapapun yang berkuasa harus hati-hati dalam mengambil langkah, harus mampu menangkap suasana kebatinan masyarakat. Jika salah, arah jarum jam sepertinya akan kembali ke era tahun 1998, krisis ekonomi, krisis keadilan, krisis keuangan negara, krisis politik, yang berujung munculnya krisis kepercayaan," tutur Agus.

Dengan demikian, Agus menilai, untuk mengambil kembali kepercayaan masyarakat, pemerintah harus bermanuver cepat menghentikan politik identitas yang menyebabkan polarisasi masyarakat.

"Bukan malah membiarkannya sebagai tameng kekuasaan. Penegakan hukum yang adil tanpa pandang bulu harus dilaksanakan segera serta menghentikan sementara proyek-proyek yang menggerus keuangan negara. Terakhir Presiden juga harus segera melakukan reshuffle kabinet," terang Agus.

Tak hanya itu, Agus meminta negara harus menjaga kestabilan harga-harga kebutuhan pokok rakyat banyak dengan cara menguasai industri dan distribusi barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat tersebut, terutama di sektor pangan dan energi.

"Kestabilan harga kebutuhan pokok masyarakat ini akan berpengaruh besar, bukan hanya konsumsi, tetapi juga perputaran kehidupan usaha dari UMKM sebagai pilar ekonomi nasional. Di tengah perkembangan dunia yang masih didominasi oleh alam liberal kapitalistik, persaingan, kesenjangan, polarisasi, bangsa kita harus berani melompat, kembali membangun karakter kebangsaan yang kuat, kembali ke jati diri bangsa kita sendiri, kembali kepada nilai-nilai luhur yang sudah berurat akar, gotong royong, kekeluargaan, tepo seliro, persatuan, musyawarah," jelas Agus.

Agus menyampaikan, konsep besar membangun Indonesia yang berdaulat, berdikari, bersatu, maju, demokratis, adil dan makmur dan yang mampu menjaga kepentingan nasionalnya, bukan menjadi follower negara lain harus segera diwujudkan.

"Sebab, itulah hakikat Pancasila. Di saat dunia sedang diliputi ketidakpastian, post kapitalisme, post modernisme, dengan prinsip-prinsip luhur yang dimiliki bangsa kita, bisa memberikan solusi untuk perdamaian dunia. Mari kembali ke Pancasila, memenangkan Pancasila, sebagai karakter bangsa!" pungkas Agus Jabo. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA