Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kasus Mafia Minyak Goreng, Setara Institute: Negara Gagal Penuhi Komitmen HAM Atas Pangan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Minggu, 24 April 2022, 21:35 WIB
Kasus Mafia Minyak Goreng, Setara Institute: Negara Gagal Penuhi Komitmen HAM Atas Pangan
Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani/Net
rmol news logo Negara dianggap gagal memenuhi komitmen Hak Asasi Manusia (HAM) atas pangan karena terjadinya kelangkaan dan kenaikan harga bahan pokok minyak goreng yang ternyata adanya mafia minyak goreng.

Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani. Ismail mengatakan, kelangkaan dan kenaikan harga bahan pokok minyak goreng yang terjadi selama beberapa bulan ini menunjukkan lemahnya komitmen dan akuntabilitas pemerintah terhadap mitigasi hak atas pangan sebagai kovenan dasar HAM, dalam kerangka mewujudkan keamanan pangan dan kedaulatan pangan (food sovereignty).

"Dalih bahwa dinamika politik global, serta transisi pada biodiesel turut memengaruhi inflasi dan pasokan CPO, tidak lantas menihilkan tanggung jawab negara," ujar Ismail kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (24/4).

Ismail turut mengomentari ditetapkannya empat orang sebagai tersangka kasus persetujuan ekspor minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) yang melibatkan pejabat di Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan tiga perusahaan sawit besar.

"Sebagai langkah hukum pemberantasan mafia minyak goreng, menunjukkan adanya persoalan tata kelola kebijakan yang berpotensi menjadi celah yang dimanfaatkan para mafia komoditas bahan pokok," kata Ismail.

Terhadap persoalan tersebut, Setara Institute kata Ismail, menyampaikan beberapa pandangan. Pertama, langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mengusut kasus mafia minyak goreng patut di apresiasi.

'Nama-nama perusahaan dan pejabat yang ditetapkan sebagai tersangka merupakan aktor penting dan strategis dalam sektor sawit di Indonesia. Hanya saja, lebih lanjut, respons pemerintah yang terkesan lamban dan membiarkan persoalan berlarut-larut tanpa solusi kebijakan, memicu ragam kritik dan tuntutan publik," jelas Ismail.

Menurut Ismail, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 08/2022 tentang DMO (Domestic Market Obligation) sebesar 20 persen dari produksi dan penetapan HET (Harga Eceran Tertinggi) tidak serta merta memenuhi pasokan CPO Nasional dan mendeflasi harga.

Karena kata Ismail, landasan konstitusional hak atas pangan yang diatur dalam kovenan dasar Ekosob serta diratifikasi dalam UU 11/2005 Juncto UU Pangan 18/2012, sejalan dengan pasal 28H UUD 1945 seolah diabaikan negara.

"Pada taraf ini, kewajiban negara untuk memenuhi (to fulfill) dan melindungi (to protect) HAM, tanpa bermaksud mengatakan gagal, hampir saja tidak dapat dipertanggungjawabkan," tegas Ismail.

Di samping itu kata Ismail, kompleksitas respons publik semakin menguat ketika gaya komunikasi pejabat negara di tengah situasi tidak menentu, justru menyampaikan narasi-narasi yang tidak simpatik pada publik.

Selanjutnya yang kedua kata Ismail, berbagai preseden buruk praktik mafia komoditas bahan pokok yang memanfaatkan celah birokrasi dan rekomendasi persetujuan ekspor maupun kuota impor seringkali luput dari perhatian pemerintah.

Misalnya, kasus korupsi daging sapi dan ekspor bawang putih yang memakai pola sama dengan melibatkan Kemendag maupun Kementerian Pertanian (Kementan), tidak menjadi pelajaran dan langkah antisipatif untuk membangun sistem dan mekanisme menghambat tuntas praktek mafia berkenaan dengan barang kebutuhan pokok yang amat merugikan masyarakat.

"Pasca penetapan tersangka mafia minyak goreng, bukan berarti persoalan selesai dan kebutuhan minyak sawit sawit dapat segera terpenuhi, namun pemerintah (state duty to protect human rights) harus mengambil prakarsa pembenahan sistematis tata kelola kebijakan menutup segala peluang yang dimanfaatkan untuk mengeruk untung di tengah penderitaan rakyat," terang Ismail.

Kemudian yang ketiga, yaitu fakta bahwa Indonesia merupakan negara produsen CPO terbesar di dunia, tidak mampu menutupi buruknya sistem tata kelola perkebunan kelapa sawit yang masih menyisakan kompleksitas persoalan di semua lini.

"Tata kelola kawasan yang tumpang tindih, data luasan perkebunan sawit yang berbeda-beda, massifnya kebun sawit di kawasan hutan, serta praktek korupsi di sektor sawit, dan sebagainya, menjadi tugas besar agar kemandirian komoditas ekspor penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia, dapat dikelola secara berdaulat dan berkelanjutan (sustainable palm oil) dengan mengedepankan aspek sosial dan lingkungan," pungkas Ismail.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA