Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Apresiasi Pengesahan UU TPKS, Aktivis Perempuan: Yang Penting Justru Implementasinya

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Minggu, 24 April 2022, 23:59 WIB
rmol news logo Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPLS) yang disahkan DPR RI pada 12 April lalu menjadi kado istimewa di Hari Kartini tahun ini. Karena UU TPKS akan menjadi instrumen penting untuk melindungi perempun dan anak dari tindak kekerasan seksual.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Terlebih, UU ini telah diperjuangkan sejak 10 tahun lalu. Hingga akhirnya disahkan pada tahun ini setelah melalui perjalanan yang berliku.

Sebagai rasa sukur atas pengesahan UU TPKS yang diketok oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani, aktivis perempuan, penyintas, orangtua penyintas, dan beberapa kalangan yang konsen terhadap isu kekerasan seksual merayakannya dengan memakai kain-kain tradisional sebagai simbol semangat Kartini yang dinyalakan.

"Kita apresiasi pengesahan UU TPKS beberapa waktu lalu. Kita bisa menghela napas panjang untuk sementara, karena awal perjuangan sudah dimenangkan. Tinggal perjuangan berikutnya adalah mengawal implementasi UU dimaksud, dan tentu butuh perjuangan yang kuat," kata penggagas acara Sapawastra untuk Kartini, Nury Sybli, melalui keteranganya yang diterima Redaksi, Minggu (24/4).

Dipaparkan Nury, UU TPKS ini mengadopsi 6 elemen kunci payung hukum yang komprehensif untuk penanggulangan tindak pidana kekerasan seksual. Yaitu  Mengatur Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Pemidanaan (sanksi dan tindakan); dan Hukum Acara Khusus yang hambatan keadilan bagi korban, pelaporan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, termasuk pemastian restitusi dan dana bantuan korban.

Kemudian, Mengatur penjabaran dan kepastian pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan melalui kerangka layanan terpadu; dengan memperhatikan kerentanan khusus termasuk dan tidak terbatas pada orang dengan disabilitas; Pencegahan, peran serta masyarakat dan keluarga; dan Pemantauan yang dilakukan oleh Menteri, Lembaga Nasional HAM dan masyarakat sipil.

Salah satu penyintas kekerasan seksual yang hadir, Gita Pragati menyampaikan rasa terima kasihnya pada Puan Maharani, selaku Ketua DPR RI yang teleh mengesahkan RUU TPKS menjadi UU TPKS.

“Saya merasa memiliki kekuatan baru untuk melakukan dampingan korban. Perasaan saya tuh lega sekali begitu palu diketok Mbak Puan,” ujar ibu dua putra ini.

Terkait pengaturan tindak pidana kekerasan seksual, UU TPKS juga mengatur sembilan tindak pidana kekerasan seksual yang sebelumnya bukan tindak pidana atau baru diatur secara parsial.

Mulai dari tindak pidana pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Selain pengaturan sembilan tindak pidana tersebut, UU TPKS mengakui tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam undang-undang lainnya, sehingga nantinya hukum acara dan pemenuhan hak korban akan mengacu pada UU TPKS.

"Saya kira ini salah satu UU yang keren. Pertama, dia memikirkan korban, mengatur bagaimana agar korban itu bisa langsung mengakses hukum. Kedua, ini juga UU yang memperhatikan soal pelayanan dan pencegahan. Itu tidak terlalu banyak atau malah tidak ada sebelumnya di UU yang lain," kata Nury yang aktif mengampanyekan kain-kain nusantara (wastra).

Hal senada disampaikan Ketua departemen Gender Ikaluin, Yuni Chuzaifah. Menurutnya, UU TPKS ini revolusi hukum yang sangat penting.

“Makna adil tidak hanya cukup pada proses legal, tapi penerimaan dari masyakarakat, maka pemulihan dan pendampingan harus dilakukan. Sering kali mereka dipunggungi, ditinggalkan,” paparnya.

Dampak kekerasan seksual, menurut Yuni,sejauh ini daya kesehatannya menurun, psikososialnya turun dan produktivitasnya juga turun.

“Maka biasanya jika institusi yang tidak sensitif gender, korban akan dikeluarkan dari pekerjaan. Sehingga dukungan pemulihan ini menjadi kunci, dan kita ingin mencegah dari akarnya,” tegasnya.  

Nury Sybli bersama para aktivis yang hadir akan terus mendukung upaya implementasi UU TPKS dalam mendorong perumusan peraturan turunannya.

"Yang paling penting justru adalah praktiknya atau implementasi UU di pihak kepolisian, kejaksaan, itu sebetulnya yang lebih penting untuk dipantau lebih jauh, jangan sampai, secara konsepsi dan redaksional UU sudah bagus, jatuh ke implementasi karena persoalan benturan ego sektoral dan benturan birokrasi malah jeblok," tutur Nury.

Dalam kesempatan perayaan Hari Kartini yang digelar Sapawastra, aktivis perempuan bersama puluhan penyintas memakai kain tenun Baduy, Flores dan Sumba, serta batik dari berbagai daerah. Selain diskusi dan berkain, juga ada sesi cara memakai kain yang mudah untuk aktivitas hari-hari serta menari.

“Kain itu seperti urat nadi perempuan. Sejak dalam kandungan, kelahiran, remaja, pernikahan, hingga kematian kita bersama kain. Bukan saja sebagai pembungkus tubuh tapi kain juga sebagai penyembuh dan penopang keluarga. Lebih dari itu, kain-kain tradisi kita umumnya dibuat dan diperjuangkan oleh perempuan,” papar Nury.

Tugas perempuan itu berat, sambung Nury. Selain harus memperjuangkan kemerdekaan hidupnya, menjaga keselamatanya dari tindakan kekerasan seksual, juga harus berjuang agar jati diri bangsa ini terus terjaga.  

“Saya mengajak seluruh perempuan di negeri ini untuk meneruskan semangat Kartini bahwa perempuan harus terdidik agar dapat melindungi dirinya,” ajak perempuan peraih HerWorld Women of The Year 2019 ini menutup. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA