Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Untuk Kemaslahatan dan Kedaulatan Bangsa, MUI Rekomendasikan Pemilu Pakai Sistem Perwakilan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/faisal-aristama-1'>FAISAL ARISTAMA</a>
LAPORAN: FAISAL ARISTAMA
  • Jumat, 20 Mei 2022, 14:50 WIB
Untuk Kemaslahatan dan Kedaulatan Bangsa, MUI Rekomendasikan Pemilu Pakai Sistem Perwakilan
Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan/Net
rmol news logo Pelaksanaan Pemilu 2024 sedianya diorientasikan pada kemaslahatan umat dan bangsa. Bukan sebaliknya, pemilu langsung yang sudah pernah terselenggara baik di tingkat daerah hingga pusat justru menimbulkan praktik kapitalisme dan liberalisme.

Melihat fakta-fakta yang ada dari pemilu yang digelar secara langsung, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengusulkan agar DPR dan pemerintah meninjau ulang sistem pilpres dan pilkada langsung.

“Atas dasar itu pemilihan sistem perwakilan memilih MPR/DPR lebih maslahat untuk memilih Presiden dan Kepala Daerah tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota,” kata Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan dalam keterangannya, Jumat (20/5).

Amirsyah mengurai, Musyawarah Nasional (Munas) ke VIII MUI 2010 telah mencermati praktik Pemilu yang sudah berlangsung menyimpulkan; antara lain fenomena pemilihan pemimpin secara langsung di tingkat daerah ternyata menimbulkan praktik kapitalisme dan liberalisme dalam perpolitikan tingkat nasional dan daerah.

Itu mengakibatkan antara lain, terjadi dominasi pemilik kapital (modal) kuat dalam pemilu kepala daerah tanpa mempertimbangkan kapabilitas, kapasitas dan integritas calon.

Selain itu, berpotensi terjadi konflik horizontal antar para pendukung calon, karena antara lain faktor kapital dan cara-cara yang liberal serta pragmatis dalam proses pemilukada.

Kemudian, terjadi pemborosan keuangan negara dan masyarakat yang seharusnya dapat digunakan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan  kesejahteraan masyarakat.

Amirsyah menambahkan, dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI (2012) juga berpandangan posisi Gubernur, bupati, walikota yang sejajar secara politik dengan DPRD provinsi serta kota/kabupaten.

Pandangan tersebut, kata dia, didasarkan bahwa lebih banyak mudharatnya pelaksanaan pilkada sekarang dibanding dengan manfaatnya.

"Meninggalkan madharat lebih diutamakan ketimbang mengambil manfaat dan prinsip idza ta’aarada mafsadataani aw dlararaani ru’iya a’zhamuhuma dlaraaran bi irtikaabi akhaffi al-dlararain (apabila ada dua kerusakan atau bahaya yang saling bertentangan maka hendaknya dijaga bahaya yang lebih besar dengan mengambil resiko bahaya yang lebih kecil)," katanya.

Secara aqli, lanjutnya, pandangan ini juga didasarkan pada banyak kasus terdapat kekacauan teknis, mulai dari aspek pendaftaran pemilih, dan penetapan kepala daerah dan wakil kepala daerah, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, serta penetapan dan pengesahan pasangan calon terpilih. Lalu, mahalnya ongkos pilkada.  

Selanjutnya, dalam penyelenggara dan calon selian maraknya politik uang; juga terjadinya politisasi birokrasi; serta rendahnya kualitas dan kurang efektifnya kepemimpinan KDH;

Kemudian, banyak KDH/WKDH terkena masalah hukum, yakni sebanyak 271 orang (17,9 persen) dari 753 pasangan KDH & WKDH terpilih, selama pelaksanaan Pilkada tahun 2005-2012. Data ini mengingatkan lebih besar mudarat dan pada maslahat.

Namun begitu, MUI meyakini rekomendasi tersebut akan dikritik dan ditentang oleh banyak pihak. Mengingat hal itu masih sejalan dengan Pancasila yakni sila ke-4.

“Sungguhpun hal ini akan mendapat tantangan dari para pihak, namun MUI meyakini bahwa sitem perwakilan sejalan dengan prinsip sila ke 4 yakni: kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijakaan dalam permusyawaratan/perwakilan,” pungkas Amirsyah. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA