Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pandemi Belum Usai, Indonesia Harus Belajar dari Korsel yang Presidennya Hampir Dipecat karena Wabah MERS

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Senin, 06 Juni 2022, 17:44 WIB
Pandemi Belum Usai, Indonesia Harus Belajar dari Korsel yang Presidennya Hampir Dipecat karena Wabah MERS
Penasihat Senior Gender dan Pemuda untuk Direktur Jenderal WHO, Diah Satyani Saminarsih/Repro
rmol news logo Sektor kesehatan di suatu negara yang tidak siap menghadapi suatu wabah bakal ikut mengguncang sektor politik, bahkan membuat pimpinan negara dipecat.

Penasihat Senior Gender dan Pemuda untuk Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Diah Satyani Saminarsih menerangkan, penyebaran wabah yang berdampak pada situasi politik pernah terjadi di Korea Selatan (Korsel) pada tahun 2016 lalu.

Dia menjelaskan, saat itu Korsel dihantam wabah Sindrom Pernapasan Timur Tengah atau MERS, yang membuat Presiden Park Geun-hye yang memimpin saat itu dituntut mundur oleh rakyatnya sendiri karena dianggap tidak becus menanggulangi penyebaran penyakit yang terjadi di dalam negeri.

"Waktu dia (Korsel) menghadapi wabah Mers, bukan pandemi tapi hanya outbreak di negaranya, itu sampai sedemikian parahnya membuat presidennya (dituntut) harus resign (mundur). Itu mengguncang politik dalam negeri di negara tersebut," ujar Diah dalam diskusi Populi Center di Jakarta, Senin (6/6).

Kekinian, lanjut Diah, banyak negara di dunia masih dihadapkan pandemi Covid-19 yang sudah berjalan lebih dari 2 tahun.

Dia menegaskan, WHO sama sekali belum menyatakan bahwa pandemi Covid-19 sudah mereda, dan lantas masyarakat dunia sudah bisa beraktivitas secara normal seperti dahulu.

"Jadi sekarang itu kita belum selesai dari pandemi, dalam arti dunia masih ada di dalam situasi di mana ada sebuah virus yang mudah bermutasi, bereplikasi dan menular kepada orang lain," imbuhnya menegaskan.

Diah menyatakan, pandemi Covid-19 dalam dunia epidemiologi sudah masuk pada tahap penyebaran virus level 3. Karena populasi virus sama besarnya dengan populasi manusia dan binatang, atau sudah ada di dalam satu ekosistem yang sama.

"Jarang kita temukan situasi level 3 ini. Terakhir tahun 1918," sambungnya.

Namun dengan adanya pandemi yang penyebarannya sudah masuk ke tahap level 3, dibutuhkan waktu cukup panjang untuk betul-betul selesai dari pandemi, karena baik negara maju, berkembang, ataupun miskin haruslah kebal dari penularan virus Sars-CoV-2 ini.

"Yang dialami, gonjang ganjing selama pandemi, sistem kesehatan nasional di seluruh negara tidak mendapat perhatian. Maka ketika datang pandemi goyah semua, termasuk goyahnya ke level politis. Jadi artinya ada ketidaksadaran bahwa kesehatan erat kaitannya dengan politik," paparnya.

Namun, karena kehidupan masyarakat dunia tertunda akibat pandemi Covid-19 yang membatasi rasa aman hingga termasuk aktivitas perekonomian selama 2 tahun belakangan, maka diperlukan adanya perubahan cara hidup.

"Seluruh dunia begitu rasanya. Pemilu tetap harus ada, Pilkada tetap harus ada, tidak bisa ditunggu sampai kapan. Dan untungnya vaksin ditemukan begitu cepat," ucap Diah.

"Tapi di sisi lain di Afrika cakupannya masih lebih rendah dari negara-negara maju dan berkembang saat ini," sambungnya.

Maka dari itu, WHO memiliki 3 skenario dari segi teknis mengenai kenormalan baru atau new normal. Pertama, situasi new normal terjadi ketika mutasi virus terus berjalan menjadi lebih parah, dan cakupan vaksinasi tidak ada perbaikan.

Kemudian skenario kedua, WHO bilang virusnya terkedali, cakupan vaksin akan baik, dan reproduction rate bisa di-manage dengan baik. Sementara skenario yang ketiga, ada kemungkinan Covid-19 tiba-tiba membaik atau tiba-tiba tidak semakin membaik.

"Artinya, dari tiga skenario tersebut tidak pernah ada dibilang bahwa virusnya akan hilang. Berarti normal baru adalah kita akan sama-sama-sama terus dengan virus Sars-CoV-2 ini. Hanya saja nanti vaksin, survailance, dan kekebalan yang melakukan perbaikan terhadap sebuah populasi," tuturnya.

Oleh karena itu, Diah memandang perlunya sebuah pergeseran prioritas kebijakan di setiap negara. WHO sendiri, katanya, mengelaurkan rekomendasi untuk seluruh negara untuk bisa diaplikasikan ke dalam kebijakan di tingkat nasional.

"Rekomendasi tersebut bisa diterima, di masukan ke dalam proses pembuatan kebijakan terhadap suatu negara yang tadinya tidak spesifik sistem kesehatan menjadi bergeser ke (prioritas) sistem kesehatan, supaya bisa lebih cakap menanganai pandemi," ungkapnya.

"Sejauh ini, yang bisa dijadikan contoh (pembelajaran) seperti itu adalah Korsel. Karena ketika pandemi datang mereka menjadi lebih siap (karena sudah pernah dihantam wabah Mers), tandasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA