Begitu dikatakan Ketua PBHI Nasional Julius Ibrani dalam diskusi "Telaah Kritis UU 23/2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik, Hukum-HAM, dan Keamanan: Jelang Putusan Mahkamah Konstitusi" yang diselenggarakan kerjasama PBHI Lampung dan Imparsial, Kamis (16/6).
"Melalui UU ini memungkinkan penjagaan proyek strategis negara nantinya akan dijaga oleh Komcad. Tugas ini tentu tidak ada relevansinya dengan militer, hal ini membuat militer akan menguasai semua lini sektor sehingga bisa berlaku sewenang-wenang dalam kekuasaan," kata Julius.
Ditegaskan Julius, UU PSDN bertentangan dengan prinsip dasar pembentukan peraturan perundang-undangan. Di mana UU ini di bahas dan disahkan dalam waktu yang cepat dan singkat tanpa partisipasi publik yang luas.
"UU ini juga tidak menghormati prinsip kebebasan berpikir, kebebasan beragama, berkeyakinan karena sifatnya yang memaksa dengan penghukuman," imbuhnya.
Ditambahkan dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, Budiyono, dia menilai pasal-pasal yang ada dalam UU PSDN sangat bisa disalahgunakan oleh negara karena bersifat multi tafsir.
Salah satunya, kata dia, seperti siapa yang berhak menafsirkan “ancaman†yang dimaksud dalam UU PSDN.
"Seharusnya negara saat ini fokus untuk memperkuat sistem alutsista negara dibanding melatih sipil dengan kemampuan militer. Karena penyelesaian menggunakan cara-cara militer atau kekerasan sudah bukan saatnya lagi," katanya.
Senada, disampaikan Al Araf sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Bagi dia, UU PSDN bersifat memaksa.
Alasannya, kata Al Araf, warga negara yang tidak ikut mobilisasi dapat dipidana dengan kurungan 4 tahun.
"Sehingga undang-undang ini memaksa dan tidak memberi ruang kebebasan untuk warga negara," tandasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: