Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Perlu Hukum yang Tegas dan Berkeadilan Bagi Kelompok Radikal

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Kamis, 16 Juni 2022, 22:09 WIB
Perlu Hukum yang Tegas dan Berkeadilan Bagi Kelompok Radikal
Personel Densus 88 saat menggelandang tersangka tindak pidana terorisme/Net
rmol news logo Paham radikal tidak bisa ditolerir meskipun demokrasi di Indonesia mengakomodir semua ide dan pemikiran. Terhadap paham radikal, perlu adanya tindakan hukum yang tegas dan berkeadilan bagi kelompok radikal.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Begitu yang disampaikan Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima), Ray Rangkuti dalam Diskusi Publik bertajuk, "Tantangan Radikalisme di Alam Demokrasi," di Kampus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Kamis (16/6).

Ray mengatakan, demokrasi tidak bisa mentolerir ide-ide yang mengarah pada tindakan destruktif seperti menyebarkan paham radikal. Ia kemudian menyinggung keberadaan HTI dan FPI yang akhirnya dibubarkan oleh pemerintah.

"Pada dasarnya, organisasi-organisasi sebagaimana sebutlah HTI, FPI dan lain-lain merupakan suatu wadah yang kita nilai sebagai aspirasi. Sudut pandang kita dalam organisasi tersebut sebenarnya tidak salah. Salah satu hal yang menyebabkan ia dilarang adalah penganut-penganut organisasi tersebut melakukan tindakan destruktif yang dapat mengganggu masyarakat yang lain. Semisal dengan cara melakukan kekerasan dan lain-lain," ujar Ray.

Dalam hal pelaku dan penyebar radikalisme yang mengarah pada kekerasan berbasis agama kata Ray, harus dilakukan penindakan hukum secara adil dan manusiawi.

"Poin penting sebenarnya hukum kita adalah memberikan tindakan tegas terhadap pelaku dan penyebar radikalisme dan memberikan sanksi terhadapnya. itu peran penting dari hukum kita yang berkenaan dengan radikalisme ini," kata Ray.

Hal senada juga disampaikan peneliti Setara Institute, Cucu Sutrisno yang menilai pentingnya penegakan hukum bagi kelompok yang hendak merongrong Pancasila dan UUD 1945. Namun, tetap harus mengedepankan Hak Asasi Manusia (HAM).

"Perlu adanya penegakan hukum yang adil dan tentu tidak melanggar HAM," katanya.

Sementara itu, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jogjakarta, Saifuddin di forum yang sama mengatakan, paham radikal saat ini sudah masuk kampus, sehingga menurutnya, kampus sudah tidak aman dari radikalisme.

"Kampus sudah tidak aman, diinfiltrasi oleh gerakan radikal. Kalau kita runut sejarahnya bukan sesuatu yang datang tiba-tiba," kata Saifuddin.

Saifuddin menilai, kampus UIN yang notabene kampus Islam moderat juga tidak lepas dari ancaman radikalisme. Transformasi IAIN ke UIN katanya, justru menjadi salah satu faktor masuknya radikalisme di kalangan perguruan tinggi.

"Kalau masih IAIN, 65 persen mahasiswanya dari madrasah, 35 persennya dari sekolah umum. Ketika jadi UIN berbalik, 55 persen dari sekolah umum dan 45 persen dari madrasah," jelasnya.

"Alumi sekolah umum itu biasanya kosong dari segi pengetahuan agama lalu dicekoki dengan ideologi radikal. Alumni umum ini haus dengan pengetahuan agama, lalu mereka ketemu dengan kelompok eksklusif. Sementara alumni pondok, tidak lagi belajar agama, tapi filsafat dan sosiologi," sambung Saifuddin menutup.

Masih di forum yang sama, Kepala Pusat Penelitian LP2M UIN KHAS Jember, Wildani Hefni mengungkapkan bahwa, merebaknya berita hoax turut andil terhadap peningkatan radikalisme di Indonesia.

"Karena banyak narasi-narasi negatif yang kita temui di sana," katanya.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA