Keputusan gugatan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman,dalam sidang pembacaan putusan perkara nomor 90/PUU-XVIII/2020, di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (20/6).
"Mengadili, dalam pegujian formil, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Dalam pengujian materiil, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," demikian Anwar Usman membacakan amar putusan.
Dalam perkara ini, Pemohon gugatan yakni Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Allan Fatchan Gani Wardhana menilai UU MK inkonstitusionalitas karena dalam proses pembentukannya telah melanggar asas pembentukan undang-undang, yaitu asas keterbukaan.
Sehingga, UU tersebut dipandang dibentuk tanpa partisipasi publik dan proses pembahasannya dilakukan tertutup dengan waktu sangat terbatas
Namun, MK menilai dalil tersebut tak berdasar, karena pada fakta persidangan terungkap bahwa RUU Perubahan Kedua UU 24/2003 tentang MK telah masuk dalam daftar Prolegnas tahun 2015-2019.
Sehingga menurut MK, tata cara perubahan UU tersebut telah mendasarkan pada daftar kumulatif terbuka sebagai tindak lanjut beberapa putusan MK, sehingga tata cara perubahan UU 7/2020 tak lagi relevan untuk dipersoalkan.
"Penting bagi Mahkamah untuk menegasakan bahwa usulan RUU jika masuk dalam daftar kumulatif terbuka sesungguhnya dapat dibentuk kapan saja dan tidak terbatas jumlahnya sepanjang memenuhi kriteria yang terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) UU 12/2011," tambah Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menerangkan.
Selain dalil permohonan Pemohon yang tidak relevan, Hakim MK memutuskan menolak gugatan ini karena menilai Pemohon tak memiliki kewenangan untuk menggugat materiil gugatan.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: