Hal itu diungkapkan oleh Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata saat memberikan pembekalan antikorupsi di hadapan Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Oesman Sapta Odang (OSO) dan jajarannya di acara Politik Cerdas Berintegritas (PCB) Terpadu 2022 yang diselenggarakan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis pagi (30/6).
Alex mengaku prihatin karena berdasarkan angka statistik yang dimiliki KPK sejak lembaga antirasuah ini berdiri, lebih dari 300 anggota parlemen, 20 gubernur, 140 bupati/walikota, dan 30-an menteri dengan berlatarbelakang partai politik (parpol) yang ditindak karena terlibat kasus korupsi.
"Tentu ini menjadi suatu angka-angka yang tentu saja tidak membanggakan. Tapi ya memprihatinkan. Kita prihatin semua kalau setiap kali kami melakukan penindakan terhadap wakil-wakil rakyat itu," ujar Alex seperti dikutip
Kantor Berita Politik RMOL, Kamis pagi (30/6).
Akan tetapi, Alex menyadari bahwa biaya politik di Indonesia mahal. Hal itu terkonfirmasi dari hasil survei yang dilakukan oleh KPK.
"Kami melakukan survei, ya kepala daerah tingkat dua itu paling gak harus menyediakan dana itu Rp 20 sampai 30 miliar. gubernur itu di atas Rp 100 miliar. Anggota DPRD, DPR sama, mereka juga harus punya anggaran dana," ungkap Alex.
Selain itu, anggaran para calon kepala daerah tersebut tidak berasal dari kantung sendiri, melainkan berdasarkan survei KPK maupun Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), ada pihak sponsor yang memberikan.
"Boleh, dan dibolehkan itu sponsor. UU kan membolehkan, perusahaan menyumbang bahkan perorangan menyumbang. Tapi apakah sumbangan itu gratis? Oh ternyata tidak. Ada harapan dari penyumbang," kata Alex.
Apalagi kata Alex, penyumbang berasal dari perusahaan atau kontraktor yang berasal dari daerah masing-masing, selalu ada harapan ketika calonnya menang, akan dimudahkan bahkan dimenangkan dalam mengikuti tender-tender proyek di pemerintahan daerah.
"Nah kalau sudah seperti itu, runyam bapak ibu sekalian hasilnya. Karena apa? Ya ketika suatu kegiatan proyek itu sudah dipesan dari awal, bahkan dari mulai perencanaan yang nanti akan disetujui oleh teman-teman anggota DPRD atau DPR, pasti lelangnya gak benar, proses lelang gak benar, kalau lelangnya gak benar, ya pasti harga yang terbentuk juga gak benar, pasti gak akan efektif, pasti gak akan efisien," jelas Alex.
Bahkan, pelaksanaannya pun dipastikan tidak benar karena dalam pelaksanaannya ada permintaan-permintaan dari berbagai pihak.
"Karena dalam pelaksanaannya pasti ada permintaan ini, termasuk kepala daerah ya
fee kepala daerah itu bapak ibu sekalian dari yang sudah ditindak KPK, permintaan fee proyek itu 5-15 persen tuh sudah lazim. Dan saya punya keyakinan itu sudah merata, sudah menjadi praktik umum," pungkas Alex.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: