Hanya saja, Ketua Dewan Pembina APPKSI Arief Poyuono menekankan bahwa penghapusan PE bukan berarti harga TBS akan naik nantinya.
Menurutnya, pungutan ekspor crude palm oil (CPO) dihapus masih belum bisa menaikan harga tandan buah segar (TBS) yang signifikan. Ini lantaran larangan ekspor CPO yang pernah terjadi membuat stok CPO masih melimpah di tangki-tangki pabrik kelapa sawit (PKS).
Sementara harga CPO juga sedang mengalami penurunan. Di mana harga perdaangan CPO berada di posisi 3.735 ringgit Malaysia per ton, atau turun 4,1 persen.
“Posisi tersebut menjadi posisi terendah sejak 2 Juli 2021, apalagi dibandingkan sebelum ekspor CPO di larang di mana harga CPO di atas 6.000 ringgit Malaysia per ton,†ujar Arief Poyuono kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Senin (18/7).
Dia mengurai bahwa harga TBS sulit naik karena bea keluar ekspor CPO masih sangat tinggi. Bea keluar mencapai 288 dolar AS per ton. Artinya, bea ekspor akan tetap membebani harga TBS petani, sekalipun pungutan ekspor sudah dihapus.
Karena itu, APPKSI berharap bea keluar CPO harus dihapus atau dikurangi hingga di kisaran 50 dolar AS saja, agar harga TBS bisa mencapai harga normal kembali.
Apalagi dalam menghadapi krisis global, Indonesia membutuhkan ekspor yang kuat untuk mendapatkan devisa negara. Perlu dicatat bahwa menurut BPS, minyak kelapa sawit merupakan komoditas terbesar yang menopang surplus perdagangan Indonesia pada Juni 2022.
"Minyak kelapa sawit menyumbang 54 persen terhadap surplus neraca perdagangan Juni 2022,†tegasnya.
Saat ini, harga minyak sawit mentah diprediksi bakal anjlok dalam. Hal ini dipicu oleh menularnya ketakutan pasar global terhadap resesi yang mengancam ekonomi Amerika Serikat (AS).
“Bahkan, ketakutan pasar tersebut diprediksi lebih kuat dari dampak tensi geopolitik di Ukraina,†tutupnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: