Harapan tersebut datang dari dosen politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun, kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Senin (25/7).
"Semoga
legal standing yang dimiliki PKS cukup memiliki dasar untuk MK membatalkan
presidensial threshold menjadi 0 persen," ujar Ubedilah.
Sosok yang kerap disapa Ubed ini menuturkan, PKS memiliki hak untuk menguji
presidential threshold. Hanya saja menurutnya, agak kurang tepat jika PKS hanya meminta MK untuk mengubah besaran angka ambang batas.
"Jika PKS menawarkan solusi
presidential threshold menjadi antara 7 persen sampai 9 persen itu hak konstitisional PKS karena memperoleh suara nasional sebesar 8,21 persen pada pemilu 2019 lalu," tutur Ubed.
"Tetapi, secara konstitusional sesungguhnya
presidential threshold tidak dapat dibenarkan berapapun thresholdnya sebab sudah cukup ada
parliamentary threshold,," sambungnya.
Kendati begitu, Ubed memberikan apresiasi kepada PKS sebagai satu-satunya parpol yang memiliki kursi di parlemen berani mengajukan gugatan norma ambang batas pencalonan presiden ke MK.
"Saya kira sebagai upaya menolak
presidential threshold apa yang dilakukan PKS patut dilihat sebagai bentuk perlawanan," demikian Ubed.
Permohonan uji materiil
presidential threshold diajukan PKS ke Kantor MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (6/7).
Saat itu yang memimpin proses pendaftaran permohonan gugatan itu ialah Presiden PKS Ahmad Syaikhu, yang meminta MK mengubah
presidential threshold menjadi 7 sampai 9 persen.
Syaikhu mendalilkan, PKS mengikuti alur pemikiran MK yang telah mengadili setidaknya 30 permohonan uji materi terkait Pasal 222 UU Pemilu.
MK menyebutkan bahwa angka
presidential threshold sebagai
open legal policy pembentuk undang-undang, dan PKS sepakat dengan argumentasi ini.
Hanya saja, Syaikhu memandang seharusnya
open legal policy tersebut disertai dengan landasan rasional dan proporsional, agar tidak bertentangan dengan UUD 1945.
BERITA TERKAIT: