Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Keppres Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Manipulatif

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Selasa, 23 Agustus 2022, 08:17 WIB
Keppres Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Manipulatif
Ketua Setara Institute, Hendardi/Net
rmol news logo Penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu yang coba diselesaikan pemerintah dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) dikritik Setara Institute.

Ketua Setara Institute, Hendardi mengatakan, Kepres tentang Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Masa lalu bagian dari ketidakmajuan proses yang dilakukan pemerintah.

Pasalnya, Kepres tersebut diterbitkan akibat tertundanya proses pembentukan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan proses penyelidikan dan penyidikan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung yang tidak ada titik temu.

"Ini adalah cara negara memanipulasi jalan keadilan bagi korban yang sama sekali tidak akan melimpahkan keadilan dan menyajikan pembelajaran berharga bagi bangsa atas kejahatan-kejahatan masa lalu," ujar Hendardi dalam keterangan tertulisnya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (22/8).

Selain itu, Hendardi juga menanggapi pernyataan Deputi V Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Jaleswari Pramodhawardani, yang beralasan pembahasan RUU KKR belum sempat dibahas di masa jabatannya.

"Argumen KKR yang belum dibahas, bisa dibantah. Mengapa baru berpikir menyelesaikan pelanggaran HAM di sisa masa jabatan?" herannya.

Alasan Jaleswari tidak tepat jika melihat pembahasan penyelesaian kasus HAM berat masa lalu di era pemerintahan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono.

"Berkali-kali elemen korban, termasuk kelompok masyarakat sipil dimintai pendapat. Tetapi nyatanya harapan itu diabaikan dengan membentuk Keppres yang lebih menyerupai panitia santunan bagi korban," tuturnya.

"Lalu kemudian dianggap telah menyelesaikan tuntutan keadilan penanganan pelanggaran HAM masa lalu," sambungnya.

Lebih lanjut, Hendardi menilai penerbitan Keppres tersebut menunjukkan Presiden Jokowi tidak menangkap pesan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-V/2007, tertanggal 21 Februari 2008, yang pada intinya penentuan kualifikasi pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 bukanlah domain DPR.

"Tetapi kewenangan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, yang tanpa menunggu keputusan DPR, Kejaksaan Agung memulai suatu proses penyidikan. Tugas DPR kemudian hanyalah merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM kepada Presiden RI," keluhnya.

Dengan demikian, Setara Institute menilai jalan penyelesaian yudisial tidak ada kebuntuan andai Presiden Jokowi bisa mendisiplinkan Jaksa Agung untuk melanjutkan tahap penyidikan atas hasil kerja Komnas HAM.

"Faktanya, Jaksa Agung selalu berlindung, menunggu adanya keputusan DPR," demikian Hendardi. rmol news logo article
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA