Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Fadli Zon Kuliti Pernyataan Menyesatkan Sri Mulyani soal Kenaikan BBM

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Rabu, 07 September 2022, 23:28 WIB
Fadli Zon Kuliti Pernyataan Menyesatkan Sri Mulyani soal Kenaikan BBM
Menkeu Sri Mulyani/Net
rmol news logo Alasan pemerintah, khususnya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), dan mengalihkan sebagian biaya subsidi BBM yang diklaim sudah bengkak 3 kali lipat dan akan terus membengkak untuk bantuan sosial (bansos), dianggap menyesatkan.

Penilaian tersebut disampaikan mantan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, sebagaimana disampaikan melalui akun Twitter pribadinya yang diposting Rabu (7/9).

Fadli menuturkan, pernyataan Sri Mulyani sudah dipatahkan banyak pakar ekonomi, utamanya yang berbicara soal anggaran subsidi energi mencapai Rp 502 triliun, dan jumlah itu sangat membebani APBN.

"Pernyataan menyesatkan tersebut telah diprotes oleh banyak kalangan dan juga ekonom, karena dianggap tidak menggambarkan kenyataan yang sebenarnya," ujar Fadli.

Kebijakan kenaikan BBM dengan alasan APBN sudah ngos-ngosan mengalokasikan untuk subsidi malah mengundang banyak tanda tanya.

"Nyatanya, subsidi BBM di dalam APBN hanya sebesar Rp 149,4 triliun, dari total subsidi energi sebesar Rp 208,9 triliun," sambung Fadli menegaskan.

Di samping itu, anggota DPR Fraksi Partai Gerindra ini menilai tidak masuk akal melihat kebijakan BBM yang dipilih pemerintah kali ini bertolak belakang dengan kejadian di belakangnya.

"Pemerintah selalu mengatakan kenaikan harga minyak telah menambah beban APBN, padahal meskipun tergolong net oil importer, setiap kenaikan harga minyak dunia sebenarnya ikut meningkatkan pendapatan pemerintah," tuturnya.

Fadli mengutip perhitungan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, tentang kenaikan pendapatan negara dari setiap kenaikan harga minyak mentah dunia.

"Menurut Anthony Budiawan, misalnya, dengan produksi minyak mentah Indonesia yang mencapai 611 ribu barel per hari, maka dengan tingkat harga minyak saat ini, pendapatan negara secara umum sebenarnya masih surplus sekitar Rp 33,15 triliun," ucapnya mengungkap.

Bahkan, Fadli juga memiliki hasil kajian Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada Maret 2022 yang kurang lebih hampir sama dengan hasil perhitungan Anthony Budiawan.

"Hasil kajian INDEF menyatakan bahwa kenaikan harga ICP (Indonesian Crude Price) US$1 per barel akan menambah pendapatan negara Rp 3 triliun, di mana pada sisi belanja negara akan memberi tambahan Rp 2,6 triliun," bebernya.

Dengan perspektif nilai kenaikan harga ICP tersebut, Fadli memperkirakan masih ada surplus APBN sekira Rp 400 miliar.

Namun jika mengacu pada skenario selisih antara harga ICP sebagaimana diasumsikan APBN 2022, yaitu sebesar US$63 per barel, dengan harga riil ICP yang menyentuh rata-rata angka US$100 per barel,Fadli mengangap kenaikkan hara minyak mentah itu tidaklah otomatis menghasilkan kerugian.

Sebab dia mencatat hitungan INDEF atas selisih harga ICP sebesar US$37 per barel, justru telah menambah pendapatan negara sebesar Rp 111 triliun.

"Dari sisi belanja memang mengakibatkan bertambahnya belanja negara, tapi jumlahnya menurut INDEF hanya sebesar Rp 96,2 triliun. Sehingga, negara sebenarnya masih mengantongi surplus anggaran sebesar Rp14,8 triliun," sambungnya memaparkan.

Di samping itu, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra ini menegaskan, APBN memiliki fungsi shock absorber, atau berfungsi sebagai peredam guncangan.

"Sehingga, jika Presiden dan Menteri Keuangan mengatakan subsidi untuk rakyat sebagai beban bagi APBN, hal itu jelas menyalahi fungsi dari anggaran publik tersebut," tuturnya.

Lebih dari itu, Fadli mengungkap bahwa dasar hukum kenaikan anggaran subsidi energi termasuk BBM yang diklaim Jokowi dan Sri Mulyani sebesar Rp 502,4 triliun tidak tepat.

"Angka Rp 502 triliun yang disebut sebagai subsidi energi, bagian terbesarnya adalah anggaran kompensasi energi, sebuah mata anggaran yang tidak pernah diatur dalam undang-undang," ungkapnya.

Anggaran kompensasi energi ini, menurut klaim Menteri Keuangan, diatur dalam Perpres No. 98/2022 tentang Rincian APBN 2022. Namun, Fadli memastikan siapapun yang ingin mengeceknya tidak akan menemukan kata "kompensasi" di dalam Perpres tersebut.

"Penyebutan kata itu muncul di Perpres No. 117/2021 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM," katanya.

Selain itu, ada norma turunannya yang mengatur hal tersebut, yakni Permenkeu No. 159/PMK.02/2021 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Kompensasi atas Kekurangan Penerimaan Badan Usaha Akibat Kebijakan Penetapan Harga Jual Eceran BBM dan Tarif Tenaga Listrik.

"Ada satu anggaran besar, namun dasar aturannya hanya berbekal Perpres dan Permenkeu, jelas harus dipertanyakan," cetusnya.

Lebih lanjut, Fadli memberikan catatan, bahwa dalam revisi APBN 2022, seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia, harga ICP telah direvisi menjadi US$100 per barel. Artinya, asumsinya telah dinaikkan 58,7 persen.

Selain itu, pada kesempatan yang sama dia juga mendapati jumlah kuota solar telah dinaikkan menjadi 17,44 kilo liter (naik 15 persen), sementara kuota Pertalite dinaikkan menjadi 29,7 juta kilo liter (naik 26 persen).

Artinya dengan kenaikan tersebut, Fadli berkesimpulan jumlah anggaran subsidi energi berubah menjadi Rp 208,9 triliun, atau naik Rp 74,9 triliun, atau setengah kali lipat dari jumlah sebelumnya yang hanya Rp 134 triliun.

Yang membuat Fadli merasa aneh, jumlah anggaran kompensasi energi justru meroket tajam, karena telah naik dari sebelumnya Rp 18,5 triliun pada APBN 2022, menjadi Rp 216,1 triliun atau naik hampir 12 kali lipat atau 1.068 persen.

Kenaikan inilah yang menurutnya tidak proporsional dengan besaran kenaikan komponen-komponen anggaran sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.

"Bagaimana bisa anggaran kompensasi energi naik hingga 12 kali lipat (1.068 persen), sementara harga BBM hanya naik 58,7 persen, kuota solar hanya naik 15 persen, dan kuota Pertalite hanya naik 26 persen?!" herannya.

"Kenaikan anggaran kompensasi energi yang tidak masuk akal tadi itulah yang telah melahirkan angka Rp 502,1 triliun sebagaimana yg disebut oleh Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan," demikian Fadli menutup. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA