Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Beda dengan Kajian MPR, Puskapol UI Temukan Mayoritas Publik Tolak Pilkada Asimetris

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Sabtu, 24 September 2022, 19:30 WIB
Beda dengan Kajian MPR, Puskapol UI Temukan Mayoritas Publik Tolak Pilkada Asimetris
Ilustrasi/Net
rmol news logo Hasil kajian Badan Pengkajian MPR RI yang menyebut Pilkada Asimetris menjadi konsep pemilihan kepala daerah yang dibutuhkan masyarakat saat ini bertolak belakang dengan hasil kajian Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI).

Direktur Ekskutif Puskapol UI, Hurriyah menjelaskan, pihaknya pernah diminta untuk mengevaluasi pelaksanaan pilkada yang telah berlangsung selama ini.

Permintaan tersebut datang dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada tahun 2020, dan bertepatan dengan wacana Pilkada Asimetris dimunculkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian.

"Kemendagri waktu itu meminta Puskapol membuat kajian mengenai evaluasi pilkada, dan salah satu isunya pilkada asimetris," ujar Hurriyah dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (24/9).

Dalam kajian yang dilakukan tersebut, Hurriyah mengatakan Puskapol mendapati keinginan masyarakat yang justru bertolak belakang dengan hasil kajian Badan Pengkajian MPR RI.

"Kami turun ke beberapa daerah untuk membaca bagaimana wacana ini direspon oleh publik dan pemerintah di daerah. Ternyata memang hasil studi kami, temuan dan rekomendasinya mengarah pada untuk tidak diterapkannya pilkada asimetris," katanya.

Lebih lanjut, Hurriyah menyampaikan sejumlah alasan masyarakat yang diperolehnya tentang pandangan Pilkada Asimetris tidak seharusnya diterapkan.

"Pertama, kami melihat secara esensial, Pilkada asimetris itu sulit diterapkan dalam konteks Indonesia karena ada 5 persoalan," katanya.

Lima persoalan tersebut, diurai Hurriyah, adalah kesulitan menentukan variabel yang tepat untuk daerah yang berhak menerapkan Pilkada Asimetris. Kedua, bisa menimbulkan stigmatisasi. Ketiga, dalam konetks ketatanegaraan ada persoalan.

Kemudian keempat, mendorong ada ruang jarak yang berbeda dalam paritispasi politik tingkat lokal. Serta kelima, mendorong kelemahan akuntabilitas vertikal.

"Ini jadi repot. Kalau kita bicara remokrasi lokal, demokrasi itu kan vertikal, kepala daerah bertanggung jawab kepada yang dipimpin. Kalau asimetris, dia ditunjuk. Ini akan mempengaruhi relasi kepala daerah dengan masyarakat pemilih di daerahnya," tuturnya.

"Menurut kami, kalau dilihat dari faktor-faktor itu, memang masih sulit untuk menerapkan Pilkada asimetris di tengah Indonesia yang situasinya sudah melalui Pilkada bertahun-tahun," demikian Hurriyah. rmol news logo article

EDITOR: IDHAM ANHARI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA