Direktur Eksekutif Maarif Institute, Abd. Rohim Ghazali mencatat, kejadian ini menjadi yang terburuk kedua setelah tragedi Estadio Nacional (National Stadium), di Lima, Peru, 24 Mei 1964 yang menewaskan 328 orang.
“Tragedi Kanjuruhan jauh lebih buruk dari tragedi Hillsborough, Sheffield, Inggris, 15 April 1989 yang menewaskan 96 orang dan disebut-sebut sebagai sejarah terkelam dalam sejarah sepakbola Eropa,†urainya kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Minggu pagi (2/10).
Menurut Rohim Ghazali, tidak ada asap kalau tidak ada api. Terjadinya kerusuhan di lapangan menjadi bukti masih adanya masalah yang serius dalam pesepakbolaan nasional. Dia berharap setelah tragedi Kanjuruhan, persepakbolaan nasional segera introspeksi dan tidak saling menyalahkan.
Kementerian Pemuda dan Olahraga, PSSI, klub-klub sepakbola, penyelenggara kompetisi, suporter, dan seluruh pemangku kepentingan sepakbola Indonesia harus mengevaluasi diri, termasuk pihak aparat keamanan.
Rohim Ghazali menilai, agar kerusuhan di lapangan sepakbola tidak terjadi lagi, diperlukan langkah-langkah yang tepat, misalnya dengan pemberian sanksi berat terhadap klub, suporter, dan penyelenggara kompetisi yang terlibat dalam kerusuhan.
“Sanksi berat diperlukan untuk membuat efek jera bagi semua pihak yang terlibat, dan bisa menjadi pelajaran penting bagi stakeholder sepakbola yang lain,†tegasnya.
Terakhir, Rohim Ghazali menilai bahwa sebelum kompetisi dan pertandingan dilakukan, perlu langkah-langkah antisipatif yang komprehensif agar lapangan sepakbola tetap menjadi hiburan, tidak berubah menjadi kuburan. Kemenangan dan kekalahan adalah hal yang biasa, jangan ubah sukacita menjadi ajang dukacita.
“Dukacita mendalam kami untuk dunia sepakbola Indonesia,†tutupnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: